Dulu sekali, Solar pernah berangan-angan, akankah hidupnya akan jauh lebih menyenangkan jika dia menjadi sang kakak sulung?
Hidup sebagai tujuh bersaudara dan menjadi si bungsu sedikit banyak membuat Solar kesal. Sering sekali kakak-kakaknya memerintah seenak jidat, menyuruhnya kesana kemari sesuka hati, memintanya melakukan ini dan itu, pokoknya list permintaan mereka pada Solar seperti tidak pernah ada habisnya. Muak sekali si bungsu ini.
"Pasti enak sekali jadi kakak," biji-biji congklak disebarnya satu persatu pada lubang papan congklak yang tengah ia mainkan bersama Duri dengan serius, "apalagi Kak Hali, enak banget. Anak pertama trus adiknya ada enam, pantas saja suka kasih perintah tidak pakai pikir-pikir panjang."
Belum sempat Duri menyahuti ucapan sang adik, keributan mulai terdengar dari halaman belakang. Blaze yang beberapa menit lalu dititipi Halilintar untuk menjemur baju, kini berteriak-teriak ribut minta ditolong. Solar dan Duri yang memang tidak mengerjakan apapun—bermain congklak tidak dihitung, bangkit dan berderap ke belakang bersamaan dengan si kakak sulung yang melesat cepat melewati mereka.
Hari itu langit sedang dalam kondisi paling cerahnya. Angin sejak tadi pagi berhembus segar dan sesekali memang cukup kencang. Dan ini jadi perkara bagi Blaze yang memang belum mendapatkan porsi masa pertumbuhannya. Tubuh kecilnya ikut bergoyang kesusahan memegang tiang jemuran yang asik bergerak depan belakang akibat dihembus angin kencang. Beberapa kain yang dijemur juga sudah bertebaran jatuh di sekitarnya.
Halilintar menjewer kesal adiknya yang nomor tiga sambil bibirnya sibuk menggerutu panjang lebar. Namun, Duri dan Solar bisa lihat dari dalam rumah, Halilintar dengan cekatan membenahi tiang jemuran agar dapat berdiri kokoh kembali, sehingga Blaze tidak perlu khawatir jemurannya akan ambruk.
Tentu saja, Blaze harus mencuci ulang beberapa kain yang kotor akibat jatuh.
Baru saja beres dengan masalah jemuran Blaze, kali ini Gempa dan Taufan yang saling memekik ribut dari dapur. Si bungsu yang berjumlah dua biji segera menoleh, dua kakak kembar mereka yang biasa bertanggungjawab mengenai masalah pangan di rumah ini sedang panik karena panci presto mereka terkunci. Sepertinya, antara Taufan atau Gempa telah salah memutar kunci panci tersebut, yang sayangnya kadang mereka tidak bisa mengatur kekuatan tangan mereka, sehingga panci presto mereka sekarang tidak bisa dibuka. Bergeser pun tidak sama sekali, padahal baik Duri maupun Solar tahu betul kakak-kakak sulung mereka tangannya kuat semua.
Halilintar mendesah lelah, kakinya dengan cepat membawa tubuhnya ke dapur. Ia memastikan betul-betul pada dua kembarannya, bahwa uap dalam panci sudah habis semua atau belum, yang dijawab anggukan saja. Dan tentu saja bagai pahlawan, dalam sekali gerakan Halilintar, panci presto mereka berhasil terbuka dan terselamatkan.
Si sulung menarik napas lega. Akhirnya, dia bisa istirahat juga di akhir minggu ini. Ia sudah sibuk membereskan halaman depan bersama Tok Aba sedari pagi, dan dalam usahanya beristirahat, ia telah diteriaki ribut oleh adik-adiknya yang butuh pertolongan.
"Kak Hali," kali ini Ice yang muncul. Tubuhnya yang tidak lebih besar dari Blaze telah basah kuyup tanpa terkecuali, "kran air di depan pecah. Aku sudah berhasil menyumbatnya, tapi tidak bisa juga memasang kran barunya. Bisa tolong?"
Sekali lagi Halilintar menghela napas panjang, kemudian segera merangkul sang adik nomor empat dan membawanya ke tempat kran pecah yang ia maksud.
Duri dan Solar pun kembali pada permainan mereka yang sempat terjeda tadi. Sama seperti sebelumnya, mereka kembali memainkannya dengan serius dan tanpa bertukar kata sedikitpun.
"Jadi, Solar masih mau jadi kakak tidak?"
"Tidak, deh. Solar masih suka jadi adik bungsu. Makasih buat tawarannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
FanfictionKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri