Sopan baru saja pulang dari sekolah, ketika dia mendapati dua dari lima kakaknya tengah duduk dengan serius menatap selembar kertas lecek.
"Assalamualaikum, Sopan pulang—"
"Waalaikumsalam," jawab Sori singkat, dilanjutkan tangannya menepuk lantai di sebelahnya yang kosong, "duduk sini deh, Sopan. Ini bahasan serius, nih. Hidup mati kita dua hari ini dipertaruhkan sekarang,"
Meskipun agak curiga bercampur bingung, Sopan tetap patuh pada perintah Sori barusan. Ia segera duduk di sebelah Sori, sesuai apa mau si kakak tadi.
"Jadi," Supra membuka percakapan di antara mereka bertiga dengan intonasi berat pasrah, "siapa di antara kita bertiga yang bisa masak?"
Sori langsung menggeleng cepat sambil meyilangkan dua tangannya, mutlak tidak mau dianggap bisa masak.
Pandangan Supra langsung melirik pada Sopan yang mendelik sebagai respon dari pertanyaannya barusan.
"Mas mau anggap Sopan yang kemarin gosongin oven mas Glace ini bisa masak?"
Maka, Supra dan Sori kompak menggeleng.
Mereka kemudian jatuh dalam keheningan sambil menghela napas panjang. Ketiganya setuju pasrah dengan keadaan.
"Beli saja, Mas," usul Sopan takut-takut. Dalam hati berulang kali merutuki kakak-kakaknya yang lain, kok ya tega sekali meninggalkan tiga orang tidak bisa masak ini bersama-sama. Sampai dua hari pula. "Memangnya, mas Frost tidak kasih uang?"
"Tidak," pangkal hidung diurut pelan. Supra stres berat kalau begini. "Tapi, kita ditinggali banyak sekali bahan makanan. Pasti lebih-lebih itu kalau cuma buat dua hari."
"Kita makan mie instan saja! Mumpung tidak ada mas Glace,"
Siku Supra menyodok pelan Sori. "Gila. Kita bertiga kan kalau sudah dua kali makan mie instan berturut-turut bakal mencret. Kamu mau diare di musim hujan begini?"
Sopan meringis pedih. Merasa diri nelangsa. Perutnya seketika bergejolak tidak nyaman mengingat rentetan kenangan ketika mereka sekeluarga terpaksa makan mie instan berturut-turut dua kali dalam sehari karena hujan tak kunjung berhenti dan stok dapur Glacier kosong melompong.
Dari situ mereka semua tahu, batas toleransi makan mie instan punya Supra, Sori, dan Sopan adalah satu kali dalam seminggu. Lebih dari itu, selamat jadi penunggu WC.
"Ya sudahlah, mau bagaimana lagi," Supra bangkit dari duduknya sambil meremas kesal notes izin pergi tiga saudaranya yang lain. Ia menyambar ponselnya lalu menyeret langkahnya menuju dapur. "Kita percaya sama Youtube dan kemampuan masak kita—yang tentu saja di bawah rata-rata ini."
Sori bergegas menyusul sang kakak dan menepuk-nepuk pundaknya prihatin. "Bisa, Mas pasti bisa. Mas kan juara kelas,"
Tinggallah Sopan seorang diri menyaksikan serta mengawasi dua kakaknya yang tersisa berjuang mati-matian untuk makan malam mereka hari ini. Tangannya menggenggam erat ponsel miliknya, sebuah bentuk kewaspadaan dan jaga-jaga, mana tahu ada saja kejadian yang bisa saja dua kakaknya pantik.
Mengingat keduanya punya tangan yang cukup ceroboh untuk merusak sesuatu—Sopan tahu itu karena dia pun sama seperti mereka.
Dan benar saja insting jelek Sopan.
Tidak sampai setengah jam berlalu, Supra dan Sori sudah berhasil mengacaukan dapur. Serius, ini kalau dua kakak sulung mereka tahu, habis sudah hidup mereka bertiga di tangan keduanya.
"Halo, Kak Gempa? Bisa datang ke sini nggak, ya? Mas Supra dan mas Sori barusan bakar dapur, kayaknya kami nggak bakal bisa makan malam deh hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rupa Tujuh Semesta
FanfictionKarena hari-hari Solar yang normal tidak pernah terlihat biasa saja akibat ulah ajaib kakaknya yang berjumlah enam biji Dan tentu saja, polah ajaib dirinya sendiri