• Revisi Tiga Sulung

907 117 2
                                    

Taufan mendorong lemas sepeda biru kebanggaannya. Langkahnya gontai, malas untuk menapak bumi. Senyum jenaka miliknya tidak terpasang seperti biasa, wajahnya suntuk dan bibirnya melengkung lelah. Bahkan amplop berisi uang gajian di tangannya sama sekali tidak berhasil mengangkat sedikitpun derajat sunggingan bibirnya. Ia tetap memberengut.

Dari luar, rumah tampak sepi. Hanya ada ramai-ramai samar yang dapat ditangkap pendengarannya. Kemungkinan besar itu adik-adiknya sedang ribut entah di dapur atau di halaman belakang. Tidak peduli lah. Taufan cuma ingin segera masuk rumah lalu merebahkan diri di atas sofa ruang tengah. Lelah sekali pikirannya hari ini, padahal masih belum ada setengah hari berjalan.

"Sudah pulang, Kak Taufan?"

Taufan mengangguk mengiyakan pertanyaan Gempa. Dua kembarannya itu tampak sedang loyo rebahan di atas sofa ruang tengah juga, persis seperti keinginannya. Ia buru-buru mengikuti kegiatan merebahkan diri bersama saudara-saudaranya.

Beberapa menit lewat tanpa ada seorangpun dari mereka yang angkat suara. Sesekali terdengar helaan napas panjang salah satu dari mereka.

Halilintar duduk lelah menutup sebagian wajahnya dengan topi hitamnya. Gempa membiarkan tubuhnya merosot disokong sofa. Dan Taufan merebahkan diri sekenanya bersandar pada tangan sofa.

Sekali lagi mereka menghela napas panjang. Tidak ada isak, hanya ada hela napas karena lelah pada hari yang belum berlalu separuhnya. Badan mendadak terasa pegal-pegal, saking lelahnya pikiran. Kepala terasa pusing dan buntu. Untuk sekedar melontarkan pertanyaan ringan basa-basi pada satu sama lain saja rasanya susah sekali.

Mereka kembali menghela napas panjang.

"Oke, Kak Hali?" Taufan melontarkan pertanyaan ambigu pada si sulung yang kini meliriknya lewat ekor mata.

"Revisi lagi."

Gempa tertawa kecil, "Gempa juga." Ia mengusap cepat ujung matanya, tindakan preventif sebelum ia benar-benar akan menangis saking lelahnya. "Harusnya tadi yang maju Kak Hali duluan, pasti Kak Hali tidak akan kena marah—"

"Tidak juga," Halilintar menurunkan topi yang sedari tadi nangkring menutupi wajah kusutnya, "memang dosbing kita sudah berniat untuk marah-marah pada kau dan aku, siapapun yang maju duluan juga tidak ada bedanya."

Taufan tertawa kecut, "Sama," ia memilin ujung-ujung rambutnya. Matanya menerawang jauh mengingat amukan sang dosen padanya tadi pagi, "aku juga kena marah. Padahal sudah revisi sesuai yang beliau tandai. Aku juga sudah tanya pada teman dan kakak tingkat yang satu bimbingan, tapi tetap kena sembur juga."

Mereka bertiga tertawa kecil. Menertawakan ketidakberuntungan mereka hari ini. Meskipun begitu, ketegangan dan kelelahan dalam wajah mereka tampak sedikit mengendur.

"LOH, kakak-kakak sudah pulang?" Duri muncul dari arah belakang sambil membawa sepiring makanan bersama Ice yang mengekorinya. "Pas banget! Kami baru saja selesai masak."

Taufan menengok menatap sang adik dari balik sofa, "tumben sekali. Kalian masak apa?"

"Si Jono." Jawab Ice pendek. Ia meletakkan piring-piring berisi ayam saus pedas di atas meja ruang tengah.

"JONO?!"

Halilintar langsung duduk tegak. Tidak percaya dengan apa yang diucapkan Ice barusan. "Jono si ayam jago punya Blaze, kan?"

Ice mengangguk sebelum berjalan kembali ke belakang menyusul saudaranya yang lain.

"Si Jono akhir-akhir ini nakal, kata kak Blaze," ujar Duri dengan senyum ceria. Ia mengambil tempat untuk duduk di antara Taufan dan Gempa yang masih syok dengan kematian tiba-tiba Jono. "Suka habisin makan punya yang lain. Meresahkan. Akhirnya disembelih kak Blaze, deh. Kata dia, hitung-hitung bikin kakak bertiga senang. Kalian kelihatan stres banget dari kemarin. Jadi kami berinisiatif bikin makanan enak buat kalian—pakai Jono."

Taufan tidak tahu, apakah dia mau menangis apakah mau tertawa. Dia senang adik-adiknya punya perhatian pada mereka sebesar ini, tapi kalau harus mengorbankan si Jono yang gagah perkasa, agak tidak tega juga dia mau makan pahanya yang gemuk-gemuk itu.

Di sisi lain sofa, Gempa sudah menangis sambil menjeda dengan tertawa. Wajahnya disembunyikan lewat pelukannya pada Halilintar. Sesekali tangannya menggebuk punggung si sulung. Halilintar sendiri tidak banyak bereaksi dengan semua yang terjadi, dia hanya memijat pelipisnya yang mendadak pening. Mau tertawa tapi emosinya juga sedang meluap ingin meledak.

Duri tetap tersenyum manis. Ia tidak peduli dengan reaksi kakak-kakaknya yang beragam—dan frustasi.

"Permisi, minumannya datang!" Kali Ini Solar yang muncul dengan teko isi minuman dingin, disusul Blaze di belakangnya sembari membawa beberapa gelas. "Kakak-kakak harus senang, soalnya kita hari ini akan makan si Jono yang resek bukan main. Mari kita makan si Jono hari ini!"

Makin kencanglah gebukan Gempa pada Halilintar di sela tangisnya.

Taufan tertawa kecil. Ia segera bergabung dengan adik-adiknya yang sudah melingkar mengerubungi Jono saus pedas. Terima kasih pada adik-adiknya yang budiman, setidaknya hari ini ia, Halilintar, dan Gempa bisa tidak berlarut-larut dalam emosi kekesalan pada revisi skripsi mereka—meskipun Jono harus jadi tumbal kebahagiaan mereka. Bahunya terasa jauh lebih ringan ketimbang saat ia pulang tadi. Ia juga tidak lagi merasakan pening akibat atmosfer pekat sesak yang dihasilkan dirinya dan dua saudara kembarnya itu.

Taufan ingat, ia tidak sendirian. Semua temannya masih berproses. Dua saudara kembarnya juga masih berproses. Ia juga tidak stagnan dan terus membuat progres—meskipun sedikit. Tapi, progres tetap progres, ia tidak mau kalau dirinya atau dua kembarannya menyalahkan diri sendiri karena terus revisi, sehingga merasa tidak ada kemajuan dalam mengerjakan skripsi ini. Justru kalau saat ini ia tenggelam dalam emosinya, ia akan menemui kebuntuan tak berakhir—never ending skripsi—dan itu adalah hal yang ia dan kembarannya hindari.

"Kakak habis gajian tadi," Taufan nyengir lebar sambil menunjukkan amplop kertas warna cokelat yang tampak sudah lecek karena digenggam erat olehnya saat pulang tadi, "kalian mau jajan, tidak?"

"MAU!"

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang