Kota Bandung emang gak ada matinya sekarang. Padahal ketika kecil dulu, jalanan yang sering Magenta lewati ini selalu sepi menjelang tengah malam.
Kalau dipikir-pikir, Magenta bisa saja pesan ojol atau naik angkot. Namun jalan kaki di sepanjang trotoar rasanya ide bagus buat menghilangkan rasa cemburunya. Padahal perjalanan dari kantor ke rumah lumayan jauh. Dalam setiap langkahnya Magenta melisankan nama yang sudah tertulis dalam hatinya sejak lama.
"Apa pun yang Lo lakuin, rasanya gak pernah sekali pun bikin gue kesel, Ka."
Sambil memijat betisnya yang pegal Magenta melihat suasana kota yang mulai sepi, kecuali di lapak-lapak pedagang. Ada penjual mie nyemek yang dipenuhi pengunjung, penjual nasi goreng yang masih satu tim dengan mie nyemek tak kalah rame. Sebrangnya ada penjual wedang jahe dan juga pecel lele dengan spanduk berwarna hijau yang khas.
Lelaki itu menyentuh perutnya, perut yang nyaris belum terisi makanan sejak siang tadi. Agak perih, rasa malas membuatnya enggan untuk memasukkan makanan apa pun. Namun, dia ingat Bunda. Bunda yang dua kali lebih capek kalau salah satu anaknya sakit.
"Satu, Kang, pedes ya."
"Magenta!" teriak seorang pria, dia senyum dan memberi space kosong agar Magenta bisa duduk di sebelahnya.
"Lo masih pake baju gawe, njir, belum pulang? Cewek mana yang Lo apelin malam Jumat gini?" tanya Robin teman satu kantor Radika yang kebetulan ada di lapak nasi goreng.
"Abis ngapelin kuntilanak gue, perut gue minta diisi walau mulut bilang enggak. Lo ngapain malem malem nongkrong di sini, itu perut udah offside."
Magenta nunjuk ke arah perut Robin membuat lelaki itu cemberut karena malu.
"Mana temen Lo, katanya mau jemput?"
Magenta mengangkat bahu, lantas dia mencomot kerupuk yang ada di piring milik Robin. Dua lelaki itu ngobrol seru, makan nasi goreng dan teh serai panas yang enak di tenggorokan. Lalu ngobrol ngaler ngidul sambil ngabisin rokok milik Robin.
Tak terasa sudah jam Cinderella alias tepat tengah malam. Mau tidak mau Magenta dan Robin menyudahi obrolan mereka. Beruntungnya Magenta bertemu Robin, dia jadinya gak harus lanjut jalan kaki atau pesan ojol. Lelaki tambun berperut buncit itu mengantarkan Magenta sampai rumah.
Magenta mengernyitkan kening saat tirai kamarnya dibuka, memaksa sinar matahari mengintip membuatnya silau. Magenta enggan untuk bangun karena masih ngantuk dan capek, lelaki bermata bulat itu menarik selimut dan mengubur wajah di dalamnya.
"Ge, Lo gak kerja?" Orang yang bertanya membuka selimutnya dengan lembut. Gak perlu tanya siapa yang datang, entah kenapa Magenta selalu hapal jika Radika datang ke kamarnya.
"Jam berapa?" tanya Magenta, suaranya serak.
"Baru jam setengah 7 sih."
Sontak Magenta bangun, dia hiraukan Radika, disambarnya handuk di gantungan dekat pintu balkon lalu basuh badannya di kamar mandi. Magenta tau, meski hati Radika tak pernah diberikan kepadanya tapi lelaki itu selalu balik lagi dan lagi. Wajahnya manis, senyum gigi kelincinya menggemaskan, mana bisa Magenta marah dan merajuk lama-lama. Dia selalu kalah dan luluh.
Usai mandi Magenta masih melihat Radika di sana, bedanya kini ada seporsi lengko dan teh hangat tersaji di meja. Tak lupa beberapa tahu isi, bala-bala dan juga cireng isi kesukaannya.
"Dari mama. Kastara sama Bunda juga dibagi. Ini gue bawa ke sini biar Lo makan sambil siap-siap."
"Tapi gue buru-buru, Ka. Ada meeting sama Pak Bobby, takut macet. Gue bekel aja gorengannya ya."
Magenta membawa piring berisi gorengan, rencananya dia akan memindahkannya pada kantong plastik di bawah. Tanpa melihat Radika lagi Magenta buru-buru turun.
Radika menelan ludah, untuk pertama kalinya Magenta semarah ini padanya. Dia tinggalkan seporsi makanan yang sudah dia siapkan sebagai permintaan maafnya.
Di kantor Magenta tak bisa konsentrasi, selain merasa bersalah pada Radika, dia juga malas melihat Agatha. Wajahnya mengingatkan Magenta pada rasa sakit yang dia rasakan semalam.
"Genta, gue mau ngomong," ujar Agatha, perempuan yang baru saja dia pikirkan itu tiba-tiba ada di sebelahnya. Magenta menggeser duduknya, mengambil kursi kosong yang biasa dia gunakan untuk menyimpan berkas sebelum diserahkan ke atasannya.
"Duduk, Ta, gue sambil kerja gak apa-apa kan?"
Agatha mengangguk, dia duduk dengan kikuk. Radika cerita kalau Magenta tidak merestui hubungan mereka entah karena apa.
Namun, beberapa saat menunggu, Agatha malah tidak sanggup berkata-kata. Padahal sudah ratusan kata yang dia siapkan untuk memberitahu Magenta soal hubungannya yang terhitung masih hangat-hangat tai ayam itu.
"Lo mau konfirmasi hubungan Lo sama Radika, kan? Gak apa-apa, gue ngerti malah gue mau ngucapin selamat sama kalian. Mudah-mudahan Lo adalah cewek terakhir yang ada di sisi dia."
Entah dorongan dari mana sampai Magenta sanggup mengatakan itu. Sayangnya walau gimana pun dia harus belajar ikhlas. Apalagi dia sadar diri Radika tidak dilahirkan untuk menjadi kekasih.
"Lo gak marah?"
"Gue gak berhak marah, Ta. Kalian berdua sahabat gue dan gue harusnya bahagia dengan kabar kebersamaan kalian."
Agatha yang semula murung dan takut-takut kini tersenyum cerah. Dia menyentuh lengan Magenta dan mengucapkan banyak terima kasih.
"Dah balik lagi kerja sana, nanti makan siang mau bareng apa mau sama Radika?"
"Enggak, Radika udah bolos kerja tiga hari, bapaknya ngambek katanya. Jadinya gue makan siang bareng kalian. Liat kan, meski gue sekarang punya cowok, kalian bertiga gak akan kehilangan gue sebagai sahabat paling cantik."
Senyum Agatha semakin cerah. Tapi Magenta tahu dan pernah melihat senyum yang sama. Senyum cewek-cewek saat baru pertama kali jadian sama Radika.
Agatha tidak tahu tidak lama lagi senyum itu akan berubah jadi air mata. Tugas Magenta kali ini akan semakin berat.
Menguatkan hatinya dan juga menenangkan perempuan ini apa apabila Radika sudah benar-benar bosan dan menemukan perempuan lain yang dia rasa lebih baik dari Agatha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomanceNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...