Sembilan Belas: Yuki vs Radika

191 18 2
                                    

Perut bagian atas Magenta semakin keras dan rasanya sakit. Ranjang rumah sakit menjadi saksi penderitaan lelaki keras kepala itu. Dia bahkan memaksa Yuki untuk tandatangani surat pernyataan penundaan operasi.

Jelas, Yuki tidak tinggal diam melihat Magenta yang ngotot pengen pulang ke Indonesia dan di operasi di Bandung saja. Alasannya Bunda. Namun, Yuki tahu, ada orang lain yang menjadi alasan Magenta sengotot ini. Ya, siapa lagi kalau bukan si anak tetangga?

Dengan cekatan, Yuki meminta salah satu orangnya untuk mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan agar Bunda dan Kastara bisa bertolak ke Jepang.

"Kalau udah gak tahan bilang aja Genta, biar ditangani dokter. Selesai operasi gue jamin Bunda sama Kas udah di sini." Yuki mengelus perut Magenta. Lelaki itu terus mengaduh dan mengeluh saat tangan Yuki dijauhkan dari sana. Dia persis seperti seorang perempuan yang hendak melahirkan dan minta suaminya untuk selalu mengelus perutnya.

"Mereka berdua?" tanya Magenta.

"Ya berdua, keluarga Lo kan cuma mereka, atau jangan-jangan Lo ngarepin si biji nangka buat datang ke sini? Sory ya Ge, sebanyak apa pun duit gue yang keluar buat Lo dan keluarga Lo, gue ikhlas. Kalau buat orang lain, gue mikir ulang." Ya, Radika orang lain, Yuki sama sekali tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun buat dia. Bahkan jika itu anak bisa datang sendiri pun dia rasanya gak suka.

Genta bukan orang lemah, dia bahkan bisa bertarung melawan banyak preman. Dia selalu melindungi Yuki saat sekolah dulu, tapi kenapa saat berkaitan dengan Radika, Magenta kontras berubah. Magenta murung, penyakitan, putus asa, seperti tidak punya harapan hidup sama sekali.

"Enggak, maksud gue orang yang ngurusin kedatangan bunda sama si Adek gak ikut juga ke sini? Gue khawatir, si Kas orangnya aneh, dia ceroboh, pelupa."

"Tenang aja, sesampainya di Bandara ada orang yang jemput mereka. Lo istirahat aja, kalau ada apa-apa bisa panggil perawat ya. Gue gak bisa stay, kerjaan gue lagi banyak banget."

Yuki berdiri, memastikan kenyamanan Magenta sebelum meninggalkan lelaki itu sendirian. Yuki tidak bisa lama-lama di rumah sakit karena banyak hal yang harus dia persiapkan.

Setelah melalui perjalanan berjam-jam akhirnya tiga orang dari Indonesia tiba di Jepang. Seperti yang dikatakan Yuki, semua sudah diatur dan dipersiapkan. Jemputan sudah tiba dan siap mengantarkan mereka langsung ke rumah sakit. Tidak ada waktu untuk sekadar mampir ke hotel atau rumah untuk beristirahat. Karena perjalanan dari Bandara ke rumah sakit pun cukup memakan waktu.

Di rumah sakit, Yuki yang baru saja dihubungi pihak terkait tampak begitu cemas. Magenta tidak bisa menunggu sampai Bunda dan Kastara tiba. Dia kembali diserang sakit perut hebat. Dokter khawatir ususnya pecah dan bakteri menyebar ke organ vitalnya lainnya.

"Yuki, gue takut." Magenta berbisik. Yuki semakin kalut. Dia yakin Magenta bisa bertahan, tapi dia tak mau membuat banyak orang kecewa. Diambilnya keputusan tanpa persetujuan Magenta. Yang terpenting lelaki itu sehat dan terbebas dari penderitaan yang dirasakan saat ini.

Namun, seakan sudah diatur dengan baik, kedatangan Bunda tepat sebelum Magenta masuk ke ruang operasi.

Bunda yang tampak lelah berlari merengkuh anak lelaki tersayangnya. Anak lelaki yang selalu menyimpan semua duka sendirian, anak lelaki yang harus akan kasih sayang dan cinta kasih ayah. Anak lelaki yang dia paksa untuk berubah dewasa saat dia memutuskan untuk menikah lagi.

"Bunda jangan nangis. Genta gak apa-apa, beneran." Magenta yang terbaring dan tampak pucat itu berusaha menghapus air mata sang Bunda. Sesaat sebelumnya dia mengutarakan rasa takutnya kepada Yuki, namun di hadapan Bunda, Magenta selalu bersikap seolah dia kuat.

"Kak," sapa Kastara. "Kuat, Bro. Antar gue jalan-jalan nanti, ya."

Magenta mengangguk, lalu dia melirik sosok lainnya. Bukan makhluk tak kasat mata, tapi Radika yang tak disangka ada di hadapannya tersenyum tanpa berkata-kata. Tak apa, ini lebih bagus, setidaknya jika Tuhan berkehendak lain, Magenta sudah melihat Radika untuk yang terakhir kalinya.

"Oke, Genta harus segera masuk. Sebaiknya kita tunggu di sana, Bund." Yuki menuntun Bunda setelah membiarkan petugas mendorong tempat tidur Magenta masuk ke ruang operasi.

"Nak Yuki, terima kasih sudah menjaga anak Bunda." Bunda Selen meraih tangan Yuki, menggenggamnya dengan tangan kanannya. Sementara tangan satunya menyeka air mata yang membasahi pipinya.

"Saya justru merasa lalai dan membuat Magenta sakit begini, Bund."

"Bang Yuki jangan bilang gitu, ini bukan salah Bang Yuki." Kastara menimpali, mereka bertiga duduk bersisian dengan cemas di ruang tunggu.

Sementara Radika, dia tidak beranjak sejak pintu ruang operasi ditutup. Dia menyesali diri karena tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun pada Magenta.

 Dia menyesali diri karena tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun pada Magenta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Radika setidaknya lega, operasinya berhasil. Dokter mengatakan bahwa semua baik-baik saja setelah mereka memotong 6cm usus yang mulai membusuk. Selama masa pemulihan pasca operasi keluarga dan pengunjung dilarang masuk. Karenanya Yuki membawa mereka semua untuk makan, tidak terkecuali Radika.

Dari rumah sakit sampai hotel di mana mereka akan menginap Yuki sama sekali menganggap Radika bagai angin. Ada namun tak nampak. Jelas, Radika tak nyaman karenanya. Dia juga iri karena melihat Bunda dan Kastara yang begitu akrab dan nyaman berbincang dengan Yuki.

Bahkan saat Radika menyelinap untuk menggunakan toilet pun seolah tidak ada yang menyadarinya.

Di sinilah Radika sekarang, di dalam toilet sedang mematut diri. Bayangannya di cermin tampak kusut dan mengerikan. Dia mencuci mukanya beberapa kali, begitu membuka mata dia melihat seseorang dari pantulan cermin. Yuki.

"Gede juga nyali Lo buat datang ke sini," sindir lelaki itu. Radika hanya bisa mengepalkan tangannya. Dia sadar diri, jika membuat keributan maka akan menjadi masalah besar.

"Kenapa diam? Gak bisa jawab? Atau jangan-jangan Lo datang ke sini memang sengaja mau liat kehancuran Genta? Iya?"

Radika sudah panas, tetapi lagi-lagi dia berusaha menahan diri. Daripada ribut lebih baik dia pergi dari sana sekarang juga. Sayangnya langkah pemuda itu harus berhenti manakala tangannya dicekal.

"Gue kasih tau. Gak guna Lo ke sini, ini hanya membuat usaha Genta buat Move on gagal. Asal Lo tahu, Genta sedang berusaha membuang perasaan dia tentang Lo. Dan dia minta bantuan gue buat mengisi kekosongan di hatinya. Jadi gue minta Lo jaga diri, jangan sampai bikin Genta makin sakit, lebih sakit dari ini."

Radika potek. Dia mengempaskan pegangan tangan Yuki dengan dada yang membara.

"Gue sama sekali gak ngerasa salah. Satu-satunya kesalahan yang ada karena Gege gak ngasih kesempatan sama gue buat tahu apa yang dia rasakan."

Saat Radika meninggalkan toilet, Yuki hanya bisa menghela napas.

Dasar kepala batu, dua-duanya gak mau kalah. Sampai kapan pun hubungan kalian gak bakalan pernah berhasil kalau begini caranya.

Uncrush [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang