"Bangun dulu, Ka. Bersih-bersih dulu abis itu tidur." Dikecupnya pelipis Radika dengan penuh rasa sayang. Pelipis yang penuh dengan peluh setelah menyatukan hasrat menggila beberapa putaran.
"Engh ... Perih ge. Susah geraknya." Suaranya serak dan lemah, Magenta jadi merasa bersalah karena membuat Radika tak berdaya.
"Yang minta nambah terus siapa, hmm? Bangun dulu, aku bantu beberesih seadanya, atau aku siapin dulu air panasnya di bathtub ya, biar berendam air hangat."
"Ish, apaan sih, gue gak selemah itu kali, ge." Radika bangkit dari posisi berbaringnya, dia malu jadi berlagak kuat dan bisa melakukan semua sendiri. Sayangnya baru dua langkah dia meringis, bagian belakangnya seperti terbakar, perih dan panas. Semula, Magenta sama sekali tidak berani melakukan itu pada Radika, keduanya sama sekali tidak memiliki persiapan. Sayangnya cumbuan demi cumbuan tak cukup memberikan kepuasan bagi keduanya. Tubuh mereka bersatu, mengabaikan rasa takut dan sakit yang teramat sangat.
"Kan udah aku bilang. Jangan malu gitu deh, Ka, sini aku bantu, tapi gak usah minta gendong. Aku gak sekuat itu buat gendong kamu ke kamar mandi." Diraihnya tangan Radika, dia lingkarkan di bahu, dan keduanya membersihkan sisa kekacauan yang dilakukan berjam-jam lamanya. Niat Magenta buat istirahat tidak terlaksana, tapi ajaibnya rasa lelah, sakit, penat yang dia rasakan sebelumnya hilang. Seperti menemukan penawarnya.
Pagi harinya, Radika yang masih terlelap saat Magenta menerima panggilan dari Sherina jadi ikut terbangun.
"Ya, Sher?"
"Jam berapa, ini, Ge?"
"Hmm... Iya, iya, bentar gue check out. Sory keenakan tidur." Magenta mengelus tangan yang melingkari perutnya, lalu mengelus pipi dan rambut yang bersandar di bahunya.
"Ke Mr DIY dulu bisa gak, Ge? Beli tambang plastik, lakban, rantai kecil, sama kunci gembok yang pake kode."
"Kaya mau main BDSM aja, Sher," celetuk Magenta, dia terkikik mendengar Sherina di seberang sana mendengkus kesal.
"Gue mah ayo aja. Sekalian beli borgolnya kalo gitu, dasi perak juga, biar kaya Mr Grey sama Anastasia Stell."
"Hahaha, umurnya berapa, Bu?"
Tanpa Magenta sadari Radika melepas pelukannya. Sebal sama Magenta, semalam merayunya, menjamah tubuhnya, mengungkapkan cinta seakan jadi orang paling menderita. Namun, saat bangun tidur malah bermesraan dan merencanakan seks BDSM sama orang lain.
Radika turun dari tempat tidur. Dengan perasaan sebal, lelaki itu memunguti pakaian-pakaian yang sempat tercecer tadi malam. Untungnya Magenta rajin dan merapikan semuanya, dilipat dan disimpan rapi di sofa.
"Sarapan dulu abis itu aku antar kamu pulang ya, Ka."
Tangan kokoh Magenta melingkar di pinggang Radika. Memeluknya dari belakang, dia menghidu aroma manis memabukkan.
Radika melepas pelukan itu, dia meraih celana panjangnya, memakainya tanpa kata.
"Hei, kenapa?"
"Gak apa-apa, gue mau pulang," ucapnya. Radika tidak berani menatap mata Magenta, dia hanya fokus dengan pakaiannya. Setelah selesai, dia ambil dompet, kunci mobil dan ponsel yang tersimpan rapi di meja.
"Ka, aku antar, ya?"
"Gue bawa mobil, Ge. Lo urus aja cewek Lo sana. Gak sabar pengen main BDSM, kan?"
Magenta mengulum senyum, matanya terlihat jenaka, satu alis dia angkat dengan posisi kepala sedikit miring. Di mendekat, tapi Radika menjauh dengan jalan yang terlihat kepayahan karena senggama yang baru dia lakukan semalam.
"Hei, cemburu?"
"Gak! enak aja. Gue balik!" Belum sempat Radika meraih gagang pintu, Magenta lebih dulu menangkapnya. Membawa lelaki yang tengah merajuk itu ke dalam pelukan.
Radika cemberut, Magenta semakin gemas, dia pagut kembali bibir ranum kemerahan yang semalam meneriakkan namanya berkali-kali.
"Cemburu, hmm?" Tangan Magenta tidak diam, menjalar di sepanjang punggung sampai tengkuk Radika. Lalu menjambak pelan rambutnya, membelai halus belakang telinganya. Sengatan listrik yang dia rasakan semalam kembali menyapa perasaannya.
"Ge udah, Ge." Radika melepaskan pelukan. Menjauhkan diri dari Magenta.
"Ka, sini duduk." Magenta tarik tangan Radika sampai keduanya duduk di sofa. "Bentar aku pake baju dulu."
Radika mengintip sedikit, perut berotot milik Magenta membuatnya menelan ludah berkali-kali. Untuk pertama kalinya Radika punya perasaan seperti ini. Namun, dia sadar kekesalannya pagi ini karena telepon dari Sherina. Buru-buru dia berpaling, kesal kembali mendominasi perasaannya.
"Sherina bukan pacarku, Ka. Dia orang yang bantu aku sejak pulang dari Jepang. Dia rekan kerja, atau bisa dibilang dia orang penting di kedai."
"Kalian dekat banget gue lihat." Radika masih cemberut. Entah mengapa Magenta senang dengan kelakuan kesayangannya. Dia merasa bahwa ini pertanda Radika mulai membuka hatinya. Ya iyalah, sudah buka kaki lebar-lebar masa iya gak buka hati.
"Dia adiknya Yuki, jelas kita dekat, Ka."
"Yuki lagi!"
"Duh, Ka. Gemes banget aku. Kamu harusnya ngerti aku Ka. Sejak lama aku gak pernah ada pacar, gak pernah naksir orang selain kamu, gak pernah nerima cewek. Semua aku lakukan karena aku hanya mau kamu. Yuki dan aku cuma sahabatan, iya memang, Yuki pernah suka dan sampai sekarang dia sayang sama aku. Gak lebih sebagai sahabat aja, Ka. Hatiku sudah gak bisa kemana-mana lagi sudah kamu curi sejak bertahun-tahun lalu."
Radika diam. Dia menatap lantai, tidak berani melihat Magenta. Malu saja rasanya.
"Ada lagi? Kamu mau tau apalagi? Soal Maudy?"
Radika mengangguk.
"Sudah baca kartu keluarga dia? Salinannya aku sertakan sama data-data yang aku kasih waktu itu."
Radika ingat sama map berisi data pelaku pengeroyokannya. Karena terlanjur emosi, dia sama sekali tidak membaca kartu keluarga yang dimaksud. Radika hanya menggeleng.
"Sudah kuduga. Kan aku sudah bilang di surat waktu itu. Baca dan lihat kartu keluarganya. Untuk yang satu ini kamu baca dulu sendiri. Nanti aku kasih tau selengkapnya. Ada lagi?"
"Kita apa sekarang, Ge? Pacaran?"
Magenta senyum. Dia menangkup pipi Radika.
"Kamu belum putus sama Agatha."
"Tapi udah kok, dia aja yang belum balas," balas Radika buru-buru.
"Yakin?"
"Liat aja sendiri." Radika membuka ponselnya. Memperlihatkan chat terakhir dengan Agatha. Dengan tegas Radika memang memutuskan hubungan keduanya. Meski tidak ada tanggapan sama sekali.
"Jadi?" tanya Radika.
"Kamu emang mau jadi pacarku?" tanya Magenta. Perasaannya senang sekali, ada bunga-bunga bermekaran di hatinya. Rasanya seperti matahari pagi di Padang rumput. Hangat dan sejuk.
"Ya iyalah, buat apa gue ngangkang semalam kalo gak mau jadi cowok Lo?"
"Duh mulutnya." Magenta tersenyum, belum pernah dia merasakan bahagia seperti sekarang ini.
Pada akhirnya Radika ikut Magenta ke kedai baru. Keduanya menggunakan mobil masing-masing berkendara beriringan. Berkenalan dengan Sherina dan melihat bagaimana Magenta bahagia dengan pekerjaannya.
Sore harinya setelah semua pekerjaan usai, Magenta dan Radika pulang. Magenta merasa bertanggung jawab karena membawa Radika menginap bahkan melakukan hal yang tidak seharusnya. Radika sedikit demam dan dia memutuskan untuk mengantarkan Radika sampai rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomanceNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...