Lima, Empat, Tiga, Dua, Satu
"Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipi putih mulus Radika. Tepat dengan hitungan mundur Magenta yang berada tidak jauh dari sana. Sontak Magenta meringis dan memegang pipinya sendiri seolah-olah merasakan juga pukulan gadis bermata bulat yang kini tengah tergugu.
Sementara Radika sendiri mengusap bibirnya, sepertinya sobek, rasa asin dari darah yang keluar bisa dia rasakan. Pun dengan panas dan perih yang menjalar di pipinya.
Sialan, kencang juga tamparannya.
Radika mengumpat dalam hati, tak menyangka jika Maudy bakalan senekat itu. Padahal biasanya dia hanya harus mandi karena lengket berkat siraman rohani, ups bukan, siraman jus atau minuman.
Radika peduli? Jelas tidak, jika rasa bosan sudah datang apa mau dikata? Dipaksakan pun rasanya sulit. Radika lebih memilih memutuskan hubungan saat hubungan itu baik-baik saja. Lalu mencari cewek baru yang bisa membuat dia bahagia. Bahagia lahir dan batin katanya.
Lantas, apa yang Magenta lakukan di sana? Di tengah prahara percintaan sahabatnya dan gadis manis berambut hitam legam itu?
Pertama, Magenta tidak pernah suka melihat perempuan menangis dan menderita. Lelaki itu ada di sana untuk membereskan kekacauan yang disebabkan sahabatnya Radika.
Kedua, Magenta tidak mau Radika di cap jelek, meski sebenarnya label playboy cap ayam jago sudah melekat sempurna pada Radika. Magenta hadir seolah-olah Radika yang meminta agar gadis-gadis yang sudah dicampakkan itu diantarkan dengan baik menuju rumah masing-masing.
Ketiga ... Ah sudahlah, intinya Magenta akan selalu ada untuk menyelesaikan sisa kekacauan ini. Dengan senang hati, sukarela, tanpa paksaan sedikit pun.
Tanpa perasaan, Radika meninggalkan Maudy. Yang penting dia udah baik-baik bilang kalo hubungannya gak bisa dilanjutkan lagi. Di sinilah Magenta berperan, dia mendekat dan memberikan sehelai tisu sama Maudy, menepuk pundak perempuan itu dan menatapnya seakan tatapannya berisi permintaan maaf mewakili Radika.
"Ngapain Lo di sini? Mau ngejek gue?" sergah Maudy. Suaranya tercekat, wajahnya basah penuh air mata.
"Ayo pulang, gue antar."
"Lo peduli?" cicit Maudy, dia mengambil lembar tisu yang lain dan mengeringkan wajahnya.
"Gue disuruh Radika buat nganterin Lo, mastiin kalo Lo pulang dengan selamat. Gitu-gitu dia peduli sama Lo. Yuk, keburu hujan, lagian urusan gue masih banyak."
Maudy mendengkus, dia membuang bekas tisu dengan kasar. Gak peduli sama pelototan salah satu pelayan di restoran itu.
"Kalo peduli harusnya dia gak mutusin gue pas lagi sayang-sayangnya. Kalo peduli, harusnya dia yang nganter gue pulang dan pastiin gue selamat sampe rumah. Bukan nyuruh Lo. Siapa Lo? Kacung dia?" singgung Maudy. Dalam keadaan normal, harusnya Magenta tersinggung, untung dia masih sadar dan waras kalo perasaan Maudy sama kacaunya dengan laut di pantai selatan. Bergelombang, berbahaya dan mematikan. Ulah siapa kalau bukan ulah Radika. Magenta bukan sekali dua kali menyelesaikan masalah yang dibuat sahabatnya.
"Terserah Lo mau nganggap gue apa, kacung, pesuruh, pembokat. Bodo amat, Radika gak mau goyah karena kasian liat Lo begini, jadi dia nyuruh gue. Lagian, cewek kalo patah hati suka Absurd, kalo bunuh diri gimana. Kalo diculik om om gimana? Buruan, gue tunggu di parkiran."
Mau gak mau Maudy mengikuti Magenta, dia berjalan menunduk sampai di parkiran. Di sana Magenta sudah siap di atas motor.
Radika sudah menunggu di tempat biasa, sudah ada susu uht rasa strawberry sama nasi goreng kesukaan Magenta. Bukan sebagai rasa terima kasih, toh dirinya tak pernah meminta agar Magenta melakukan itu.
"Tau aja kalo gue laper," ujar Magenta, dia langsung melahap sepiring nasi goreng dengan penuh semangat. Diliriknya Radika, lelaki itu hanya membakar linting tembakau dan menyeruput es Americano menunggu Magenta menyelesaikan makan.
Sebenarnya mereka bawa kendaraan masing-masing, tapi Radika gak mau pulang sendiri dalam keadaan basah dan lengket karena ulah Maudy. Jadi dia memilih menitipkan kendaraannya di indekos salah satu teman mereka dan pulang dibonceng Magenta.
"Sampe kapan, sih, Lo mau peduli dan anter anter mantan gue?" selidik Radika.
Magenta berhenti mengunyah, dia menatap sahabat kecilnya sekilas lalu fokus kembali pada timun dan kerupuk di nasi gorengnya.
"Mereka jadi baper, kan?" lanjut Radika tanpa menunggu jawaban Magenta.
"Gue bakalan terus lakuin itu sampe gue bosen, karena gue pastikan kalo gue udah bosen ngelakuin ini, Lo juga bosen jadi playboy cap badak."
"Selama di dunia ini masih ada cewek cantik yang legit, gue mana ada bosen. Buruan deh, gue gak nyaman pengen keramas," desak Radika.
Magenta hanya mengangguk, kemudian menyambar susu uht dan berdiri. Lelaki itu memberi kode kepada Radika buat cabut dari sana. Padahal nasi gorengnya masih nyisa seperempat piring, tapi Magenta kasian liat Radika yang udah kayak tikus kecebur got.
Seperti biasa, lelaki itu memakaikan helm dengan benar. Lalu mengambil ransel Radika dan menyimpannya di bagian tengah motor. Lalu sejenak menduduki kok motor yang panas karena sengatan matahari. Mengabaikan panas menjalar pada paha dan bagian belakang tubuhnya agar Radika gak kepanasan.
"Lo kalo nganter mantan gue begini juga gak sih?" tanya Radika.
"Enggak, cuma sama Lo aja gue begini?"
"Kenapa? Gue bukan cewek anjir!" Meski begitu, Radika cukup senang dan agak-agak baper dengan perlakuan Magenta.
"Ya gak apa-apa, pengen aja. Buruan deh, katanya mau mandi."
Magenta sudah berada di jok depan, dia merasakan panas yang sama seperti sebelumnya. Lalu Radika naik ke boncengan, tidak ada panas di jok setelah diduduki terlebih dahulu oleh Magenta.
"Gue mau ngebut, pegangan dikit ya," perintah Magenta. Sontak Radika melingkarkan tangannya pada perut rata Magenta. Menciptakan getaran dan letupan-letupan kecil di perut Magenta.
Modus sih sebenernya, Magenta mana bisa ngebut saat bawa Radika. Dia akan mempertaruhkan seluruh jiwa dan raganya demi keselamatan pria bergigi kelinci di belakangnya.
"Segini Lo bilang ngebut?" ejek Radika.
Magenta gak peduli, dia hanya menatap wajah Radika yang sepertinya bete dari kaca spion. Lalu dia tersenyum merasakan begitu nyamannya pelukan erat yang Radika berikan.
Jika boleh memilih, gue pengen tiap hari begini, Ka.
Angin menerpa dan menampar-nampar wajah Magenta, meski terik begitu menyiksa. Bajunya sedikit menegang saat Radika menyandarkan dagunya pada bahu Magenta. Magenta melirik kembali lewat spion, lelaki berkulit putih itu memejamkan matanya, meski bulu matanya tidak begitu lentik, Magenta melihat keindahan di sana.
Salahkah dia memuja dan mengagumi sosok yang sempurna ini?
Ah ... Hati, mengapa kau menjatuhkan rasa itu pada Radika, sudah tau dia lelaki, sahabat dari kecil pula. Bisa banget ya nyiksa gue sampe jatuh ke pusaran sayang paling dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomantizmNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...