Debu mengambang di udara kala karet ban bergesekan dengan aspal. Dari mobil yang baru saja berhenti itu turun seorang lelaki berkaus putih lengkap dengan penutup kepala.
Cafe Maranti berada tidak jauh dari gedung perkantoran di mana perusahaan milik keluarganya berdiri. Radika sebenarnya hanya perlu berjalan kaki dari sana.
Seorang lelaki suruhan sang papi mengikuti. Radika sudah meyakinkan kalau dirinya bisa sendiri. Sayangnya kejadian yang nyaris membawa pergi nyawa anak semata wayangnya itu membuat Joseph tak tinggal diam.
Musik yang cukup ceria terdengar dari luar, Radika mengedarkan pandangan mencari orang yang ingin dia temui. Perempuan dengan rambut hitam legam yang kontras dengan kulit pucatnya duduk di salah satu meja dekat area terbuka.
Kedatangan Radika disambut senyum cerah. Beberapa bulan lalu Radika akan senang melihat wajah perempuan itu, tetapi sekarang berbeda. Muak, marah dan emosi yang gak bisa tergambarkan bercampur jadi satu. Untung saja dia masih dipeluk akal sehat, diredamnya amarah yang sudah dia tahan sejak lama.
"Dikaaa, apa yang terjadi, kenapa jadi begini?" tanya perempuan itu.
Radika menepis orang yang tengah bersandiwara itu. Dia duduk dengan wajah dingin, dari matanya yang sedikit sipit ada sesuatu yang berkilat. Pramusaji datang membawa buku menu, Radika hanya pesan minuman dingin. Setelah pramusaji mundur, barulah Radika menjawab pertanyaan lawan bicaranya.
"Orang yang gak punya hati melakukan semua ini," tegas Radika. Dia terus menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan paling dingin. Karena ini semua masalah berawal, karena ini juga akhirnya Magenta pergi meninggalkan Indonesia.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Masih mau berpura-pura?" tanya Radika, suaranya pelan dan terdengar kejam sehingga membuat lawan bicaranya merinding ketakutan.
"Aa--kuu ...."
"Gue bisa saja bales perbuatan Lo lebih kejam dari apa yang sudah Lo kalukan. Tapi gue lebih suka orang seperti Lo membusuk di penjara."
Perempuan itu berdiri, sama persis kejadiannya seperti beberapa bulan lalu, saat dia diputuskan Radika. Bedanya, tidak ada lemon tea yang dia guyurkan ke arah Radika.
Maudy berlutut. Tangannya posisi menyembah, dia memohon agar Radika mengampuninya.
"Udah jangan drama. Tunggu aja panggilan dari polisi. Gue udah maafin Lo tapi orang-orang di sekitar gue enggak. Gege sampe rela nyari demi dapat identitas Lo, gila aja kalau gue biarin Lo bebas. Bokap gue udah siapin pengacara yang bakalan nuntut Lo di pengadilan nanti."
Bersamaan dengan itu pramusaji mengantarkan pesanan. Radika meraih es lemon tea pesanannya. Bukan untuk diminum, tetapi dituangkan tepat di puncak kepala Maudy.
Perempuan itu terkesiap, bahkan pramusaji yang belum jauh meninggalkan meja itu pun mematung karena kaget.
"Ini untuk es lemon tea yang Lo siram tepat di wajah gue waktu itu. Lunas. Tinggal Lo bayar perbuatanmu yang lainnya di pengadilan nanti."
Radika tidak melihat lagi ke belakang. Dia tinggalkan anak gadis orang yang sedang terisak di sudut cafe.
Sementara itu di belahan bumi yang lain, Magenta menikmati suasana damai. Meski banyak wisatawan yang datang ke perkebunan itu, Magenta sama sekali tidak merasa sumpek. Dia berjalan di bawah pohon anggur yang teduh. Tanaman yang merambat itu seakan menjadi tirai pembatas antara dia dan teriknya matahari.
"Di sini kerjanya kasar, enggak di kantor yang ada di gedung tinggi kaya tempat Lo kerja di Indonesia. Gue gak bakalan maksa Lo, coba aja dulu ikut gue."
"Di sini gue jadi kang petik anggur?" tanya Magenta. Tubuhnya yang tinggi mampu meraih anggur-anggur itu dan menyantapnya langsung.
"Ya enggak juga. Ini kan konsepnya wisatawan yang petik sendiri. Kalau Lo mau, gue sedang ada perluasan area untuk budidaya anggur jenis berbeda. Nanti Lo pegang yang di sana sementara gue tetep di sini."
Magenta lagi-lagi meraih buah anggur yang ada di atas kepalanya. Andai saja dia ngajak Radika, bocah itu pasti bahagia. Radika itu maniak banget sama buah-buahan. Saking sukanya, setiap belanja satu troli isinya buah semua dan itu habis sekitar seminggu.
"Alah, susah banget ngomong sama orang yang lagi usaha move on," cibir Yuki.
"Susah, Ki. Tapi gue tetep usaha, buktinya gue sudah sejauh ini. Semalam gue gak tidur, selain harus adaptasi, gue juga kangen rumah."
Yuki menepuk pundak Magenta, lalu meraih tangan lelaki itu dan membawanya ke salah satu sudut kebun. Terdapat meja dan kursi yang pendek, yang mana beberapa meja dan kursi itu diisi oleh keluarga yang berwisata.
"Gue pas pertama pindah ke sini juga merasakan hal yang sama. Bahkan lebih berat. Tapi gue seneng karena dengan begini gue bisa move on dari Lo. Gue memulai hidup baru dengan cinta yang baru. Barulah gue sadar, menjauh memang lebih baik daripada dekat tapi hati kita koyak."
"Ki, tolong jawab jujur. Lo ke gue sekarang gimana? Gak ada benci atau apa gitu karena gue terang-terangan gak bisa sama Lo."
"Bisa dibilang gue memblokir perasaan biar gak meningkat jadi cinta. Perasaan udah berapa kali, deh gue ngomong gini. Kalau Lo tanya gimana caranya ya gue juga gak tau. Hati gue tiba-tiba baik-baik aja, kalau enggak, mana mungkin pas kita ketemu lagi waktu itu, gue ngajakin Lo kerja bareng di sini."
Magenta menghela napas, gelak tawa keluarga kecil yang ada di meja sebelah memancing pria itu untuk menoleh.
"Bisa ajarin gue?"
"Yang Lo lakuin udah bener, sampai saat ini bahkan Lo gak nyalain ponsel. Habis ini kita beli dan daftarkan nomor baru buat Lo."
Magenta gak tau lagi harus mengucapkan terima kasih dengan cara apa.
Kenapa orang yang gue cintai gak cinta sama gue, sedangkan orang yang cinta sama gue malah gak gue cintai?
"Lo gak usah pasang wajah mirip zombie gitu deh, Gen."
"Gue gak enak badan, udaranya beda sama di Bandung."
Yuki gak mau menduga apakah Magenta memang gak enak badan atau hanya mengelak. Yang pasti Yuki melihat mata indah yang selalu dia puja sejak lama itu masih saja redup.
Magenta meraih anggur yang sudah dia petik. Dimakannya walau tenggorokannya benar-benar perih saat menelan.
Malam harinya kondisi Magenta makin tidak karuan. Kepalanya pusing seakan habis berputar sepuluh putaran seperti anak perempuan yang baru saja mendapatkan rok tutu baru.
Sendi sendi terasa ngilu, dan yang gak bisa dia tahan adalah rasa dingin yang menggerogoti tubuhnya. Perutnya melilit, sakit tak tertahankan. Memalukan sekali saat bunyi keroncongan terus terdengar dari perutnya yang rata. Bukan lapar tapi diare. Magenta sadar dia kebanyakan makan anggur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomanceNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...