Dua Puluh Empat: Hallo Bandung

163 14 1
                                    

"Kami sepakat untuk tidak membawa ini ke jalur hukum, Ka." Joseph Santoso menyerahkan berkas tepat di Hadapan Radika.

"Kami? Maksud papi?"

"Papi sudah bertemu dengan Maudy dan kedua orangtuanya. Kami sepakat untuk tidak melanjutkan proses hukum itu, jadi papi cabut laporan ke kepolisian. Tenang aja Papi nanti bisa lobi orang polres buat beresin kekacauan kemarin."

Radika gak habis pikir, dia hampir mati diserang preman suruhan Maudy. Bisa-bisanya Joseph mencabut laporannya.

"Jangan salah paham," ujar lelaki itu, lantas dia menepuk sofa kosong dan meminta anaknya untuk duduk di sebelahnya.

"Radika gak ngerti, Pi. Kok bisa?"

"Kamu ingat tanah di Rancaekek? Dua tahun lalu kita pernah ke sana hendak membelinya. Lalu batal karena pemiliknya batal menjual dan hendak menjadikan tempat itu pabrik yang sama dengan pabrik yang mau kita bangun?"

"Iya," jawab Radika, dia membuka berkas itu, isinya akta jual beli.

"Jangan bilang kalau ...."

"Ya," pungkas Joseph. Dia tahu keputusannya akan menyakiti Radika, tapi apa yang dia lakukan juga demi masa depan Radika.

"Oh, papi menjual nyawa Radika demi sebidang tanah. Demi ego papi?"

"Dengar dulu." Joseph meraih tangan Radika. Lelaki yang tengah kesal itu tidak bisa ke mana-mana.

Radika merasa hari ini adalah hari yang tidak menyenangkan. Semua orang berkontribusi buat bikin Radika kesal dan naik darah.

"Mami sampai marah dengan keputusan papi ini. Tapi, ini sepadan banget karena—"

"Ya udah, besok Radika babak belur lagi aja biar papi bisa beli tanah di mana-mana."

"Tidak begitu, dengar dulu penjelasan papi, Ka."

"Gak ada yang perlu papi jelaskan lagi, Pi, semua udah jelas. Gak usah ngasih tau juga."

Dengan kaki yang dihentak ke lantai Radika meninggalkan ruang kerja Joseph.

"Mami tau?" todong Radika begitu keluar dari ruangan itu. Sarah melirik sekilas lalu lanjut nonton drama Korea.

"Mi, mami di pihak mana?"

"Sebagai Ibu, mami jelas gak rela, tapi sebagai istri juga mami harus dukung papi. Percayalah, Ka. Papi punya pertimbangan lain saat mengambil keputusan ini. Kamu ikuti saja alurnya."

Radika diam. Ini nih jika gak ada Gege di sisinya, kalau ada, pasti lelaki itu mati-matian belain Radika. Gak akan membiarkan kasus ini berlalu begitu saja ditukar sebidang tanah demi memenuhi ego sang Papi untuk memperluas usahanya.

"Mau ke mana, kamu, Ka?" Sarah bertanya ketika si anak kesayangan membuka pintu.

"Rumah Bunda, di sini gak ada yang ngerti sama Dika. Beda sama Bunda."

"Udah malem, Bunda pasti udah tidur," cegah Sarah.

"Gapapa, sekalian aja aku nginep!"

Setelah mendapatkan Omelan Kastara karena datang malam-malam, Radika akhirnya bisa merebahkan diri di tempat tidur yang sama. Tempat tidur yang sudah ditingkalkan pemiliknya. Ada sisa-sisa aroma parfum Magenta yang tertinggal di sana. Walau samar, tapi dia merasa Magenta ada di dekatnya. Mengelus Surai lembutnya sampai dia tidur nyenyak dipeluk pekatnya malam.

Dua Minggu sejak Radika, Bunda dan Kastara pulang dari Jepang, kini giliran Magenta meninggalkan negeri yang indah ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua Minggu sejak Radika, Bunda dan Kastara pulang dari Jepang, kini giliran Magenta meninggalkan negeri yang indah ini. Berat memang, meninggalkan kebun anggur yang bikin dia terbaring di meja operasi. Meninggalkan banyak teman di kebun terutama di tempat pengolahan eskrim buah. Magenta melakukan semuanya demi kelancaran pekerjaan di Bandung.

"Makasih banget, Ki. Tanpa Lo gue gak tau gimana nasibnya," ucap Magenta. Yuki yang baru saja datang terbahak-bahak.

"Bosen banget gue denger ucapan terima kasih Lo. Yakin gak ngasih tau siapa pun kalo Lo pulang? Minimal si Kas."

"Si Kas malah paling Cepu. Gue mau sendiri dulu, Ki. Dengan orang baru, lingkungan dan kerjaan baru. Gue belum sepenuhnya siap ketemu sama mereka." Magenta menyelesaikan packingnya. Dia hanya membawa sedikit barang, beberapa pasang pakaian dan sepatu. Magenta juga membawa serta barang-barang yang Yuki beri untuknya.

"Ingat loh, Bandung itu kecil. Lo bisa aja ketemu. Sengaja atau enggak. Dan kalau Lo gak sanggup, Lo boleh balik lagi ke sini. Atau bepergian bareng mungkin, enam bulan lagi pacar gue balik, abis itu gue mau ikut dia ke India."

Magenta mengernyitkan kening, "India?"

Yuki mengangguk, lalu bercerita tentang rencana pacarnya mengambil pendidikan lanjutan di India. Yuki sama bingungnya dengan Magenta kenapa pacarnya pilih negara itu. Rencananya Yuki akan mengantar dan liburan beberapa Minggu sebelum akhirnya kembali ke Jepang.

"Mampir ke Indonesia kalau bisa, Ki."

"Ya kali Jepang, Indonesia, India tuh kayak Bandung, Garut, Tasik."

Magenta tertawa, dia meraih ponselnya untuk melihat waktu. Rasanya begitu cepat, tinggal beberapa waktu di Jepang memang sedikit menyembuhkan hatinya. Tapi ada luka baru yang tumbuh menggerogoti hatinya, luka yang berasal dari rindu yang dia pendam. Ya, rindu pada Radika.

Selama di pesawat Magenta hanya tertidur. Membayar malam demi malam tanpa terpejam karena tak sabar untuk pulang. Meski dia dan Radika mungkin tidak akan bertemu, setidaknya dia menjejak tanah yang sama, menghirup udara yang sama dan berpayung langit yang sama.

Setibanya di Indonesia, Magenta langsung mengurus segala sesuatunya di Bandung. Bertemu dengan Sherina, adik tiri Yuki yang mengelola dua di antara empat kedai milik Yuki.

Sherina berwajah bulat dengan rambut lurus sebahu. Sekilas ada mirip-miripnya sama Yuki, wajar saja, mereka saudara satu ayah.

"Seneng banget akhirnya ada yang bantu." Gadis itu berseru riang, wajahnya yang seolah tersenyum menandakan bahwa dia adalah sosok yang ramah.

"Mohon bantuannya. Saya sama sekali buta di bisnis ini."

"Santai saja Ge. Semua persis seperti yang Yuki arahkan. Jadi untuk permulaan, kamu pegang dulu cabang Braga. Di sana juga aku sudah siapkan kamar yang diminta Yuki buat kamu tinggal sementara sampai dapat tempat tinggal baru."

Magenta ingin menangis, entah harus mengucapkan terima kasih dengan cara apalagi. Kebaikan Yuki begitu banyak, bahkan kamar yang belum sempat Magenta pikirkan pun sudah Yuki siapkan. Padahal tadinya, Magenta mau cari kost-kostan saja.

"Mikirin apa?"

Magenta tersentak, sedikit kaget saat Sherina bertanya. Dia menunduk malu-malu.

"Yuki baik banget," ucapnya.

"Ya, sebaik itu. Sebagai Kakak paling Tua, Yuki menanggung banyak adik. Adik di Indonesia ada dua belum yang di Jepang. Dia bisa memberikan kebahagiaan buat kami. Setelah Yuki cerita tentang kamu, aku gak heran lagi kenapa dia memberikan banyak hal buatmu."

"Apa yang dia katakan?" tanya Magenta.

"Rahasia!" seru Sherina diikuti dengan tawa.

Pertemuan dengan Sherina berakhir sebelum malam. Magenta kini menempati ruangan lima kali tiga meter di lantai tiga kedai eskrim di Braga. Ruangan itu sudah dilengkapi dengan seperangkat tempat tidur dan juga meja kerja.

Yang paling menyenangkan Magenta bisa melihat jalanan Braga dari jendela kamar. Seperti malam ini, saat lampu kota terlihat remang namun indah, saat semua orang berjalan dan berjinjit di trotoar yang basah bekas genangan hujan.

Ah, hallo Bandung, gue tahu, ini adalah rumah yang sebenarnya.

Uncrush [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang