"Kas, bisa tinggalin gue sendiri? Nanti kalo udah gue panggil lu."
Kastara mengangguk dan meninggalkan Radika di kamar Magenta. Kamarnya sudah beda, padahal beberapa hari lalu sebelum mereka berseteru kamar ini vibes-nya menyenangkan. Sekarang kosong, sekosong hatinya.
Tempat tidur biasanya dialasi sprei abu-abu yang Radika beli buat ganti sprei Magenta yang bolong karena gak sengaja terpotong saat Radika mainan gunting sambil rebahan. Magenta suka sekali sprei itu dibandingkan sprei lain miliknya. Semua tentang Radika, selalu dirayakan dan diistimewakan.
Kini, tempat tidur itu dialasi sprei putih. Bantal dan guling dikemas dalam kemasan plastik kemudian divacum dan disimpan di atas lemari. Meja yang biasanya berisi banyak hal hanya menyisakan kotak hitam berisi alat cukur elektrik. Masih pemberian Radika. Saat itu bukan sengaja ngasih, Radika gak suka warnanya dan hendak membuang benda itu, tapi Magenta bilang sayang banget kalau dibuang. Dan sejak saat itu Magenta gak pernah ganti alat cukur kecuali pisaunya yang diganti berkala.
"Lo udah beli alat cukur baru, ya, sampai benda ini Lo tinggal di rumah?" Radika bermonolog menyimpan kembali alat cukur itu dengan hati-hati.
Beralih ke lemari, bagian yang tidak terkunci hanya tersisa beberapa baju. Termasuk toga, baju keramat yang Magenta perjuangkan penuh dengan tetes darah dan keringat.
Dia menatap tangan yang dibalut, bukan fokus pada tangan itu melainkan kunci yang baru saja dia dapatkan dari Kastara.
Luar biasa, pemandangan yang dia lihat begitu membuka pintu lemari yang terkunci adalah banyak benda. Semua tersusun rapi.
Map biru tersimpan paling atas, Radika urung membuka isi map itu, atensinya sepenuhnya teralihkan oleh banyaknya foto dan ternyata itu foto dirinya.
Setiap momen yang terjadi menjadi kenangan indah bagi Magenta. Semua tersimpan dan tertata dengan baik. Ini ternyata alasannya Magenta tidak pernah mengizinkan dirinya untuk membuka lemari ini.
"Kenapa Lo gak pernah bilang, Ge. Lo jahat banget sama gue."
Bulir bening melewati pipinya. Jujur, Radika lebih baik merasakan sakit seperti kemarin, dipukuli tiga orang sampai tidak sadarkan diri. Sakit seperti itu bisa dibantu dokter untuk sembuh. Sakit seperti ini siapa yang akan membantunya?
Pada dinding lemari bagian dalam, beberapa potongan tiket bioskop ditempel secara acak. Film-film yang dia tonton bersama, semua hal tentang dirinya disimpan Magenta.
"Ini semua artinya apa, Ge. Gue bego, gue gak ngerti. Tolong jangan pergi dulu sebelum jelasin semuanya." Suaranya pelan, tenggorokannya tercekat.
Radika terduduk, dadanya kini sesak. Rasanya oksigen pun enggan untuk mendekat. Pandangannya kabur, dia menangisi kehampaan.
Tersisa Map biru yang sedari tadi dia pegang. Amplop coklat dengan aroma kopi terjatuh saat dia hendak membuka map itu.
Dengan tangan gemetar Radika mengeluarkan isi dari amplop itu. Tulisan tangan Magenta yang rapi menghiasi kertas polos beraroma sama dengan amplopnya.
Dear Radika,
Gue gak tau mau nulis apa, rasanya selaksa kata maaf dari gue gak cukup bikin luluh Lo dan gak bisa memaksa bibir Lo buat bilang, "gue maafin Lo, Magenta."Rentetan kejadian akhir-akhir ini menyadarkan gue bahwa apa yang gue rasa dan gue pendam selama ini adalah sesuatu yang salah.
Gimana pun caranya, gue gak akan pernah bisa memiliki Radika utuh. Meski gue terbang ke luar angkasa dan membawa bulan untuk Lo, tetap saja tidak bisa.
Maaf karena makin hari rasa dalam dada makin tak terkendali. Gue cemburu saat Lo bercumbu dengan Maudy, gue sakit hati saat Lo berpelukan dengan Citra. Apalagi dengan Agatha, perempuan itu akhirnya jadi pemenang dan akan jadi perempuan terakhir yang ngisi hati Lo, sekarang dan di masa yang akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomanceNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...