Tiga Puluh Tujuh: Restu

199 15 1
                                    

"Ka, udahan tidurnya, bangun, yuk!" Radika mengerjap, lumayan kaget karena pagi-pagi sekali Magenta ada di kamarnya. Dia membuka selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Jam digital yang dia simpan di nakas samping tempat tidur menunjukkan pukul 05.43, masih terlalu pagi untuk bangun terlebih di akhir pekan.

"Lo gabut, ya, Ge. Subuh-subuh udah ada di rumah orang."

"Bangun, mandi, kita ke rumah sakit sekarang." Dengan satu tarikan, selimut tebal itu akhirnya terlepas menampilkan tubuh Radika yang mulus tak berbusana. Hanya bagian terlarangnya saja yang tertutup boxer. Magenta menyesal sudah membukanya, mana ada yang tegak pula.

"Jahat, Gege. Gue masih ngantuk!"

"Ayo, Ka. Kita harus segera ke rumah sakit."

Radika otomatis duduk, "Kok Rumah Sakit? Apa rumah jahit?"

"Makanya bangun, ngapain pagi-pagi ke Rumah Jahit, urusan Kas sama Bunda itu mah. Denger, aku tunggu di depan ya, Tante udah siapin nasi goreng buat aku sarapan."

Magenta keluar kamar menyisakan Radika yang masih kaget dengan kemunculan lelaki yang baru saja jadi kekasihnya itu. Dia menyambar handuk lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Pemandangan di ruang makan bikin sakit mata. Sarah, Joseph, dan Magenta sedang sarapan bersama selayaknya keluarga bahagia. Parah banget gak ajak-ajak.

"Anaknya di sini, Mi. Malah asik sama dia," komentar Radika sambil melenggang ke kamar mandi. Sarah mengangkat bahu, dia terlalu antusias dengan kehadiran Magenta yang tiba-tiba saat dirinya sedang siapkan sarapan.

"Tante udah dengar semua dari Bundamu." Sarah melipat kedua tangannya, dia bicara amat pelan dan hati-hati, setelah memastikan Radika masuk kamar mandi.

"Hah, apa, Tan?" Susu strawberry yang hendak dia minum akhirnya disimpan kembali, tampaknya obrolan ini serius.

"Semuanya," sambung Joseph. "Sejak kamu pergi ke Jepang, Bundamu sudah cerita tentang semua perasaanmu. Om dan Tante apresiasi keputusan kamu untuk menjauh, karena bagaimanapun hubungan kalian memang tidak boleh lebih dari teman baik seperti biasanya."

Magenta mengangguk. Dia tahu, saat seperti ini pasti akan tiba juga. Dia lelaki yang harus berani bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.

"Tadinya Om kamu ini mengira kamu hanya bermasalah sama orang kantor aja, makanya nawarin kerjaan di perusahaannya. Tapi setelah Selen cerita, kami baru tahu kalau kamu begitu. Maaf Genta, saat itu kami mendukung seratus persen keputusan kamu dan berharap kamu tidak kembali lagi dalam waktu dekat. Sayangnya, ternyata rasa senang kami semua jadi penderitaan bagi Dika. Kami baru pertama kali melihat dia kehilangan arah, kehilangan fokus dan seperti tidak punya tujuan." Sarah meraih tangan Magenta yang terkepal, menggenggam dengan penuh kasih sayang, mirip dengan genggaman tangan Bunda Selen.

"Sampai ketika dia pulang dari Jepang pas nyusul kamu waktu sakit, barulah kita tahu perasaan kalian sama dan enggak main-main. Radika tersesat tanpa kamu. Maka dari itu, Tante sama Om mau bilang-"

"Maaf, Om, maaf Tante," potong Magenta dengan rasa bersalah yang begitu besar.

Joseph meraih tangan Magenta, dia lalu merangkul dan menepuk-nepuk lengannya.

"Ini berat, Radika anak kami satu-satunya, tapi Om gak bisa begitu saja menghancurkan hatinya. Jika saja lelaki itu bukan kamu, Om akan jauhkan kalian, Om akan kirim Radika ke luar negeri. Apa pun akan om lakukan, tapi karena itu kamu, pada akhirnya Om hanya bisa titip dia, tolong jaga dan sayangi dia. Jangan pernah sakiti hatinya, karena jika itu terjadi om tidak akan pernah membiarkan kalian bersama."

"Jadi kalian restuin hubungan kami?" Sambar Radika dari arah kamar mandi. Sontak semua menoleh dan menggelengkan kepala begitu melihat Radika baru selesai mandi, handuk melilit pinggang ke bawah, badannya masih basah belum dikeringkan sempurna.

Uncrush [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang