Rasa sakit yang menjalar di sepanjang kening memaksa Radika untuk membuka mata. Hal pertama yang dia lihat kala matanya terbuka adalah TV LED yang menempel di dinding. Jelas ini bukan kamarnya, saat mengangkat tangan, barulah Radika sadar kalau dirinya di Rumah sakit.
"Ge," panggil Radika dengan suara serak dan lemah.
Magenta tidak terbangun, dia bersandar dan memejamkan mata di sofa. Tangannya dilipat di dada, kerutan pada wajahnya pertanda kalau lelaki itu memiliki banyak pikiran.
Radika berusaha memanggil kembali Magenta, tetapi sia-sia. Lelaki itu tertidur pulas. Radika tidak tega membangunkannya.
Rasa haus memaksa Radika untuk menggapai gelas yang disimpan di nakas samping bed-nya. Sayang keterbatasan gerak karena tangannya terluka membuat gelas yang dia gapai jatuh membentur lantai keramik.
"Ka, kenapa gak bangunin gue?" Magenta langsung lompat begitu mendengar suara pecahan gelas yang beradu dengan keramik. Saking paniknya Magenta tidak peduli dengan keselamatan dirinya sendiri, pecahan beling yang berserak di lantai itu akhirnya mengenai telapak kakinya.
"Lu dari tadi dibangunin nggak bangun-bangun," rajuk Radika, dia agak kesal tenggorokannya kering tapi gelasnya terlanjur jatuh. Untung Magenta sigap membuka botol air mineral dan memberikannya pada Radika.
Dengan hati-hati Magenta menyodorkan sedotan tepat di depan bibir Radika. Lelaki yang babak belur itu meringis manakala air membasahi bibirnya. Perih luar biasa.
Tidak lama perawat datang menghampiri, itu karena Magenta buru-buru memencet bel begitu tahu Radika sadar.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Dia udah bangun, Sus."
Perawat berkerudung itu mengangguk, lalu keluar kamar dan kembali setelah mengambil tensimeter dan berbagai peralatan medis yang bisa dilakukan.
"Dokternya nggak ke sini?"
"Dokter sedang menangani pasien di kamar sebelah, lepas itu langsung ke sini. Maaf ya Pak angkat sedikit tangannya," izin perawat itu ketika mengukur tekanan darah Radika.
Sementara itu, Magenta berjongkok dan memunguti pecahan-pecahan beling dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. Perih yang menjalar di telapak kakinya tidak dia rasakan. Magenta hanya buru-buru membersihkan tetesan darah yang terlihat kontras di atas keramik putih itu dengan tisu.
Setelah melalui berbagai rangkaian tes kesehatan, Magenta bisa bernapas lega. Pasalnya semua tes tersebut menunjukkan bahwa Radika tidak mengalami cedera serius di organ vitalnya. Meski begitu tetap saja Radika harus mengistirahatkan jari tangannya yang patah, dan juga harus menjaga baik-baik jahitan sepanjang 6cm di kepalanya.
"Lo tahu siapa yang mukulin Lo?" Tanya Magenta, Radika menggelengkan kepalanya.
"Tenang aja bokap banyak duit, dia bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan identitas pelaku pengeroyokan itu segera."
"Ini bukan masalah duit, Bro. Ya kalau lo tahu, ini bisa meringankan tugas para pihak berwajib, Pak Joseph juga nggak harus keluar uang banyak buat anak manjanya ini."
Perbincangan mereka dilakukan sambil makan siang, Magenta dengan senang hati menyuapi sahabatnya.
Suap demi suap yang diberikan Magenta penuh cinta dan ketulusan. Mata lelaki itu fokus melihat setiap centi wajah Radika yang dihiasi lebam dan luka. Jika boleh, dia mau bertukar posisi dan tidak akan membiarkan Radikanya terluka.
Tepat pada suapan terakhirnya, seorang perempuan masuk dan menghambur ke pelukan Radika. Atensi lelaki yang tengah terluka itu sontak berubah, betapa rindunya dia pada Agatha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
Любовные романыNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...