"Bangun Napa sih? Tidur mulu kaya orang penyakitan!" omel Kastara, empat hari pasca operasi, Magenta masih betah rebahan bak raja yang dilayani segala kebutuhannya sama Yuki dan Bunda. Radika? Dia sesekali datang jika Yuki tidak ada di rumah.
Radika pilih tidur di hotel tidak jauh dari rumah yang ditempati Magenta dan Yuki. Untung saja tempat itu area wisata sehingga banyak hotel atau homestay di sekitarnya.
"Ya emang gue sakit bego! Lo gak liat perut gue dibelek begini?"
"Heh kakak sayang, Dek Rayya, ponakannya Sena tuh tiga hari pasca operasi usus buntu kek Lo gini udah ngebet pengen berenang. Udah jalan sendiri ke kamar mandi tanpa bantuan emak bapaknya. Padahal umurnya baru 9 tahun."
"Gue juga ke kamar mandi sendiri, gak minta digendong sama Lo," sanggah Magenta.
"Emang beda ya, sakit usus buntu ketambahan galau hasilnya begini."
"Wasu! Sapa juga yang galau?" bantah Magenta. Dia ingin sekali ngaca memastikan apa benar wajahnya keliatan segalau itu? Dia memang ada di antara dua kebimbangan. Jika dia terus menerus mendiamkan Radika kasian juga itu anak. Tapi jika dia berbaik hati sama Radika, Magenta merasa gak enak sama Yuki.
Untung aja Radika pilih tidak tinggal di rumah ini. Dia gak harus sering-sering bertemu dengannya, Radika datang jika Bunda yang minta.
"Lo beneran udah nyerah, Kak?" tanya Kastara.
"Iya."
"Yakin?"
"Lebih dari sebelas tahun gue crush-in dia, yang penting gue udah bilang kalau gue suka sama dia. Sekarang gue udah berdamai dengan hati dan diri gue. Jadiin Radika Uncrush, setel ulang ke pengaturan pabrik jadiin dia anak tetangga plus temen main."
Kastara mengangguk, pasti sulit, Sena saja berjuang 2 tahun hampir menyerah, salut deh sama Magenta yang menyimpan rasa mendalam lebih dari 11 tahun.
Keduanya lanjut ngobrol random, ngomongin Bimasena, pacar Kastara belum sempat dia kenalin ke Magenta.
Tanpa mereka ketahui, dibalik pintu Radika mendengar semua percakapan termasuk ketika Magenta bilang sudah berdamai dengan hati. Radika memegang dadanya, ada sedikit rasa nyeri di sana.
Beberapa kali, Radika mencuri pandang ke belakang. Pemandangan itu terlalu menyakitkan untuk disaksikan, tetapi tidak mungkin dia lewatkan. Perkataan Bunda tempo hari, perasaannya, perkataan Magenta kemarin, semua tumpang tindih membentuk benang kusut yang sulit sekali diuraikan.
Saat ini Yuki membawa mereka semua untuk mengunjungi area wisata lainnya. Semua dia yang kelola. Di belakang sana Magenta berjalan bersama Bunda, tidak melepaskan tangan Bunda seakan takut untuk berpisah.
Sementara itu, Kastara sudah jauh berbaur dengan wisatawan lain yang hendak memetik buah Peach.
"Ayo jalan, nunggu apalagi?" ajak Magenta yang tidak disadari sudah melewati tempat di mana Radika berdiri saat ini.
"Eh ... Iya."
Semula berjalan di depan, Radika kini berjalan di belakang Magenta dan Bunda yang mendahului. Di belakangnya Yuki, cukup jauh, tetapi dia memantau semuanya.
"Kalau mau petik aja. Gue tau Lo suka banget sama Buah."
Radika berbalik, jelas-jelas jarak antara dia dan Yuki cukup jauh. Tapi tiba-tiba Yuki berjalan mensejajarkan diri dengannya. Seperti hantu, bikin kaget.
"Thanks. Sory banget gue datang tanpa Lo undang."
Yuki mengangguk ketika berpapasan dengan karyawannya yang membungkuk takzim.
"Kalau boleh gue ngomong, Lo itu orang yang paling beruntung dan paling tidak beruntung."
Yuki memetik salah satu buah yang ranum, menyimpannya dalam keranjang kecil yang dia bawa.
Radika menaikkan alisnya berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari bibir merah Yuki. Radika juga memindai sosok Yuki dari dekat, lelaki yang tampan sekaligus cantik di saat bersamaan.
"Lo beruntung karena orang sebaik dan setampan Magenta menjatuhkan hatinya buat Lo. Dan gak beruntung karena Lo sia-siakan orang sebaik Magenta sampai akhirnya dia nyerah."
Radika menghela napas panjang, "tapi gue juga cowok, satu gender sama Gege."
"Iya, gue ngerti. Gak semua orang bisa menerima perasaan cinta dari sesama jenis. Kebanyakan menghujat bahkan menghakimi. Tapi Lo harus membuka diri bahwa cinta itu anugrah, kita gak tahu kapan cinta itu dilabuhkan dan poinnya kepada siapa cinta itu akan diberikan. Kita gak bisa milih, kalo boleh milih, Genta pun gak mau milih lo."
Radika mengangguk, dia sudah bisa menerima kondisi di mana cinta antara anak lelaki. Apalagi semua yang berbau boyslove pun mulai terbuka dan bisa diakses dengan mudah di berbagai media sosial. Tapi kenapa dia harus terlibat?
"Iya, gue lega liat dia bahagia di sini. Meski rasa kehilangan jelas ada, gue gak bisa ngerusuh lagi sama dia. Gak bisa Mabar, sekarang mau ngobrol pun rasanya susah. Gege menghindar terus."
Yuki senyum, dari jauh dia bisa melihat Magenta yang jelas menghindari Radika. Tadi pagi pun ketika hendak mengunjungi area ini Magenta minta buat gak aja Radika. Tapi Bunda gak bisa tinggalin anak itu, jadilah Yuki dengan sukarela mampir ke hotel tempat Radika menginap dan menjemputnya untuk jalan-jalan bersama.
"Gue gak bisa bayangin gimana tersiksanya Genta crush-in Lo. Dan kini saatnya gue sembuhin luka dia, biarkan luka yang terus dia tambal setiap hari itu gue obatin di sini. Gue harap Lo jangan ngerusuh dan bikin usaha kami sia-sia. Gue sama Genta sedang belajar saling menerima satu sama lain."
Kok sakit, ya!
Radika diam saja, dia lalu melihat punggung tegap Yuki saat berjalan menjauh.
"Enggak, enggak, gue punya Agatha, gue normal, gue straight," gumam Radika seraya mengusap-usap wajahnya.
"Ah ... Sialan, trus yang gue rasain ini apa?" Radika terus bergumam tanpa sadar seseorang sudah ada di dekatnya.
"Kenapa? Mau pup?"
"Kas gila, ngagetin aja anjir."
"Lo rasain apa? Mules? Pengen pup? Yuk gue antar ke toilet, abis itu kita ke sana. Si Bunda udah cerewet ngajak makan."
Radika menggeleng, dia terlalu banyak melamun sampai-sampai setiap ada yang datang dia tidak menyadarinya.
Tepat di satu area terdapat meja dilengkapi tempat duduk yang terbuat dari plastik daur ulang. Bentuknya persegi persis seperti kerat minuman soda. Diatasnya dilapisi papan sehingga nyaman dijadikan tempat duduk.
Yuki menyiapkan makanan untuk menjamu tamu-tamunya. Masakan Jepang yang terlihat enak dan menggugah.
"Gue kangen batagor Mang Endi" celetuk Magenta.
"Lah, Lo mah dikasih makanan enak gini yang dikangenin batagor Mang Endi," cibir Kastara.
"Genta mah gitu, pernah Bunda ajak ke Bali waktu ikut workshop Payet baju, dia mah yang dikangenin nasi liwet sama karedok leunca."
"Nasi goreng pedas juga," sambar Radika.
Tiba-tiba semua terdiam, Magenta hanya melihat lalu senyum.
"Di kulkas masih ada ikan dori, kayaknya enak kalau diolah jadi batagor. Nanti gue bikinin, gini-gini gue gak lupa sama masakan Bandung. Lo kayak bocah deh makannya belepotan," ucap Yuki, tangannya terulur membersihkan bumbu yang ada di sudut mulut Magenta.
Hilang sudah nafsu makan Radika melihat dua orang mengumbar kemesraan di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomanceNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...