Tiga Puluh: Delapan Belas Plus Plus

222 17 5
                                    

Siapa bilang efek alkohol bisa hilang dengan mudah dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam? Tidak, Radika nyaris mati karena efek dari minuman itu. Dua malam di kamar Genta nyatanya tidak memberikan kepuasan.

Rasa sakit di kepala itu menetap tanpa tau diri. Butir-butir obat dia konsumsi pun tak dapat membantu begitu banyak. Hanya satu hal yang harus dia lakukan agar semua membaik, tidur lebih lama lagi.

Matanya terpejam, selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya yang seksi tanpa balutan apa pun. Antara sadar dan tidak Radika melihat seseorang masuk dan tersenyum lembut. Pancaran wajahnya cerah, rambutnya indah terikat ke belakang. Jangan lupakan aromanya yang lebih bahaya dari minuman beralkohol yang dia minum waktu itu.

"Ge." Radika berusaha menyapa, dia bangkit sedikit tapi lelaki di hadapannya mendorong bahu Radika sampai tubuhnya terbentur ujung tempat tidur.

Radika menghidu aroma manis sekali lagi, samar tercium wangi kopi dan juga tumbuhan hutan tropis. Tanpa bicara lelaki itu mendekatkan wajahnya hingga sesuatu yang lembut menempel di bibirnya yang merekah dan ranum. Lawannya itu terus mencoba mencicipi dengan penuh kesabaran. Tidak ada gairah menggebu, tetapi bersilir-silir laksana angin.

Gerakannya serupa dedaunan di puncak bukit yang sejuk, seperti tarian sensual dengan selendang sutra yang memikat. Lelaki dewasa itu memelihara gairah dengan hati-hati, bola matanya bergerak mencari anggukan, tanda kesiapan dan persetujuan Radika.

Radika menatap nanar wajah di hadapannya, menahan diri sudah tidak ada gunanya lagi. Pancaran matanya berpendar laksana kerlip kerlip bintang di malam tahun Baru. Seolah mengerti apa yang Magenta inginkan, Radika anggukkan kepalanya. Meleburkan diri tanpa sekat, bersama mendayung sampan berahi menuju puncak kenikmatan surgawi.

Radika terengah, napasnya memburu dan tubuhnya lemas. Dering Alarm membawa kembali pemuda itu pada satu kenyataan bahwa apa yang dia rasakan baru saja hanyalah mimpi. Namun, kenapa harus sama Magenta?

Radika terbangun, dia berdecak kesal kala melihat celananya basah, saking indahnya mimpi yang dia alami, cairan kenikmatan itu juga membasahi selimut.

Setelah mandi dan membereskan sisa kekacauan Radika buru-buru menghampiri Kastara yang sedang mencuci motornya di depan rumah.

"Kas, gak kuliah?" tanya dia basa basi.

"Enggak, lagi cuci motor."

Radika mengambil kursi bulat yang tersimpan di sudut teras rumah bunda lalu duduk dekat Kastara melihat bagaimana lelaki itu mencuci motor dengan hati-hati. Kastara hampir mirip seperti Magenta, segala sesuatu yang mungkin bisa dikerjakan sendiri dia kerjakan sendiri. Termasuk mencuci motornya, Radika mana pernah.

Merasa jengah dengan Radika Kasrata  memaksa dirinya untuk menutup keran dan berdiri di hadapan Radika.

"Mau ngomong apa?" tanya Kastara to the poin.

"Eh?"

"Gue tau, Bang Dika dari tadi ngeliatin pasti mau ngomong, kan? Narik napas terus kayak yang lagi nahan kentut. Ngomong ya ngomong aja." Kastara memang melihat gelagat Radika yang menurutnya nyebelin. Meski Kastara fokus nyuci motor tapi ya tetep kelakuan Radika itu keliatan banget. Dan Kastara menebak dalam hati kalau tingkah laku Kastara itu karena Kakaknya.

"Ehm ... Anu, anu, Kas, aduh gimana ya ngomongnya," ucap Radika ragu-ragu dia malah garuk-garuk kepala dengan wajah memerah seperti kepiting bakar.

"Bang Dika, kalau mau nanya soal Kak Genta gue gak bisa bantu. Maaf."

Radika melambaikan tangannya dan menggeleng demi menyanggah ucapan Kastara.

"Enggak, soal Gege gue udah tau dia di mana, bahkan kemarin gue nginep dua malam di sana."

Uncrush [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang