Tak terhitung berapa kali Magenta keluar masuk kamar mandi. Selain perutnya yang mulas, dia juga merasa mual. Keringat dingin membanjiri tubuhnya, dari pantulan cermin, lelaki itu bisa melihat wajah yang berantakan.
Pagi-pagi sekali Yuki muncul dan membawakan sarapan untuk Magenta. Sahabatnya itu bahkan tidak tahu kalau Magenta sakit begitu parah. Dia hanya berpesan untuk menghabiskan makanan dan minum obat masuk angin yang dibeli di Indonesia.
Magenta melihat sarapannya tanpa minat. Dia terlalu lemas dan kembali mengubur diri di bawah balutan selimut tebalnya.
Siang hari, orang suruhan Yuki datang dan membawakan makan siang plus dengan obat dan juga buah potong. Perempuan setengah baya itu kaget karena sarapan yang dibawa Yuki masih utuh. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menepuk pundak Magenta dan meminta lelaki itu makan dengan menggunakan bahasa isyarat. Bukan karena tidak bisa bicara, tapi tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi.
"Oke, oke, thanks." Magenta mengangkat ibu jarinya dan kembali berbaring.
Jika dalam keadaan sehat makanan itu akan habis dalam waktu singkat. Sayangnya aroma gurih dari Zosui atau sup nasi Jepang sama sekali tidak membuat Magenta tergugah. Dia terlanjur lemas, banyak cairan yang terbuang kemungkinan sudah dehidrasi.
Dalam ketidakberdayaannya tidak ada yang bisa Magenta lakukan. Dia tak dapat menghubungi Yuki karena belum mendapatkan nomor telepon. Magenta juga tidak kuat untuk minta tolong pengurus rumah yang ada di ruangan lain di rumah ini.
Jika gue mati sekarang, Radika sedih gak ya? Gimana Bunda dan Kastara? Gimana impian impian gue yang belum terwujud?
Magenta terus membatin, lelaki itu membuka selimutnya dan berusaha untuk meraih makanan yang disimpan tidak jauh dari tempat tidur.
Tangannya berusaha meraih makanan yang disimpan dalam wadah keramik. Dia meraih benda itu sayangnya tidak kuat dengan panas pada permukaan wadah berbentuk seperti panci. Tidak ada yang bisa dia lakukan lagi, lemas. Daripada menjatuhkan makanan itu Magenta lebih memilih kembali berbaring menunggu bala bantuan datang.
Hampir malam, saat jingganya langit senja berganti pekatnya malam, Yuki muncul dengan wajah khawatirnya. Membuat area perkebunan baru bukanlah hal yang mudah dan bisa dilakukan dalam satu hari. Saat ini, dia masih mengurusi pengurusan perizinan dan pembebasan tanah dari warga setempat. Namun, panggilan dari rumah yang mengabarkan Magenta sakit membuat Yuki menunda kembali segalanya dan memilih pulang menemui Magenta.
"Genta, are you okay?" Yuki membuka selimutnya, wajah sepucat kapas itu senyum senang kala melihat Yuki.
"Air ...." Bisik Magenta dengan suara serak. Yuki langsung bergerak cepat menuangkan air pada gelas, dia meraih tubuh Magenta, mendudukkannya dan berusaha meminumkan air putih. Magenta terlihat kehausan dan minum tergesa sampai tumpah-tumpah.
"Lo dehidrasi, Gue panggil ambulans dulu ya." Magenta sama sekali tidak menolak, dia sadar sudah diambang kematian. Tangannya sudah begitu pucat, mata cekung dan dia tak sanggup untuk sekadar membuka mata.
Yuki bergerak cepat, semua dia persiapkan dibantu kepala rumah tangga yang mengurus semua kebutuhan Yuki di rumah itu. Tidak lama, Ambulans tiba, Magenta dibawa ke Rumah sakit guna mendapatkan pertolongan pertama.
"Gak keren banget ya dibawa ke Rumah Sakit karena diare," ucap Magenta diikuti tawa lemah. Dia menatap tangannya yang bebas dari infusan, masih terlihat pucat, tetapi sudah bisa bergerak.
"Lo bikin gue khawatir aja tau gak sih."
Yuki duduk di salah satu sisi tempat tidur, dia berusaha memijit kaki Magenta. Sebelumnya memang lelaki itu mengeluh pegal-pegal.
"Apa gue makan anggur gak dicuci dulu, ya?"
Yuki tertawa.
"Gak ada, gak tau juga sih, tapi dipastikan kami gak pake pestisida buat semprot anggur-anggur itu. Semua organik. Tapi ya namanya makan kebanyakan wajar aja kalo sakit perut."
"Radika biasanya gak apa-apa kalau makan buah kebanyakan," celetuk Magenta. Dia buru-buru menutup mulutnya karena sudah berjanji pada Yuki untuk tidak menyebut Radika di hadapannya.
"Bosen gue denger nama si anak tetangga. Lo jangan kebanyakan ngelamunin dia. Ayo sembuh, habis itu kita keliling Jepang. Masalah Lo mau kerja di sini atau enggak kita urus nanti, yang penting Lo seneng seneng aja dulu di sini."
Magenta tertawa lagi, dia meraih tangan Yuki lalu menggenggamnya.
"Makasih banyak, Ki."
Tangan itu masih bertaut sampai Yuki merasa kesemutan. Namun, Yuki tak sampai hati untuk melepasnya. Dia bercerita banyak hal sampai Magenta memejamkan mata dan tertidur.
"Gue kayaknya emang gak harus lepasin Lo, deh, Genta. Gue rasanya gak rela Lo menderita terus." Yuki memperbaiki letak selimut lalu mundur dan pergi dari ruangan itu. Tanpa dia ketahui, Magenta tidak benar-benar tidur. Magenta membuka mata, merenungi apa yang baru saja Yuki katakan.
Pagi harinya dokter visit untuk memeriksa keadaan Magenta. Yuki tidak sedikit pun meninggalkan ruangan bertindak sebagai jembatan komunikasi antara Magenta dan dokter yang berbeda bahasa.
"Perutnya masih sakit, Dok," ucap Yuki dalam bahasa Jepang. Dokter mengangguk-angguk dan memberi instruksi agar Magenta menuruti perintah dokter.
Magenta merasa tersiksa, perut bagian atas menggembung seperti balon. Bakteri macam apa yang masuk sampai membuatnya tersiksa. Dokter menekan perut, meminta Yuki untuk mengangkat satu kaki.
"Kami menduga ini adalah infeksi usus buntu akibat bakteri yang ikut masuk melalui mulut. Untuk itu, dokter bedah akan melanjutkan proses pemeriksaan sampai dengan operasi pengangkatan ususnya."
Yuki menegang, dia tidak langsung memberitahukan kondisi tersebut pada Magenta. Dia hanya mengangguk dan menyetujui saran dokter.
Tidak lama, dokter bedah yang ditunjuk memeriksa seluruh keadaan Magenta dan Yuki sebagai wali diminta untuk menemui dokter itu di ruangannya.
"Gue bakalan mati, ya, Ki?"
"Sianjir, enggak, nanti gue jelasin setelah balik dari ruangan dokter ya. Lo akan baik-baik aja, tunggu." Untuk pertama kalinya, Yuki memberanikan diri mengecup puncak kepala Magenta. Siapa tau dengan begitu rasa khawatirnya bisa segera hilang. Siapa tau dokter mengatakan kalau Magenta tidak apa-apa.
Di tempat tidurnya, Magenta tak kalah risau. Meski dia tidak mengerti bahasa Jepang, tapi dia tahu ada sesuatu yang serius tentang kesehatannya, terlebih saat Magenta melihat gurat kekhawatiran yang tergambar jelas pada wajah teman baiknya.
Gimana kalau gue mati tanpa sempat bilang langsung, kalau gue sayang dan cinta sama Radika? Gimana kalau gue mati tanpa mengucapkan selamat tinggal sama dia?
Radika, hanya Radika yang dia pikirkan. Andai saja Yuki tahu apa yang ada di benak Magenta saat ini, pasti lelaki itu akan kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncrush [END]
RomanceNamanya Radika, usianya hanya terpaut satu bulan saja. Di mana Radika berada maka Magenta selalu jadi bayangannya. Begitu pun sebaliknya. Satu perbedaan mereka, Magenta lahir dari keluarga biasa-biasa saja, sedangkan Radika lahir dari keluarga kaya...