I

37 3 0
                                    

Biru sesekali memasang senyum seadanya, sekedar pertanda bahwa ia masih mendengarkan wanita yang terus bercerita dihadapannya. Sambil memikirkan cara agar ia bisa segera mengakhiri kencan terjadwal nya malam ini.

"Jadi gimana?"

"Hah?"

"Itu yang tadi aku tanya, gimana pendapat kamu?"

Pria itu memasukkan lagi sepotong sushi ke mulut nya, mencoba menghindar dari pertanyaan.

"Kamu pasti gak dengerin aku ya?"

Jena mendengus kesal.

Ini bukan lah pertama kalinya ia dan pengusaha muda itu berkencan, tapi Jena selalu merasa Biru tidak pernah tertarik pada apapun yang ada pada dirinya.

"Aku denger kok, Jen..."

"Udah, aku gak mau berdebat. Capek ngomong sama kamu"

"Jen...ayo dong jangan ngambek gitu. Kita beli tas yang kemaren kamu pengen itu ya, gimana?"

Jena tersenyum, mata yang sebelumnya kecewa kini berbinar menatap Biru.

Lagi-lagi Biru menang. Ia memang selalu tau tipe-tipe wanita yang dijodohkan oleh papa nya.

Ya, pada inti nya mereka semua sama. Mereka hanya mengincar harta. Seperti Billa, ibu tiri Biru yang usia nya hanya dua tahun lebih tua dari Biru.

"Lo emang gak capek kayak gitu terus?"

Biru mendongak, mata nya bergerak mengikuti Marlo yang berjalan membawa dua kaleng soda lalu meletakkan salah satunya didepan sahabatnya.

"Kayak gitu gimana? Mainin cewek?"

"Sebenarnya lo itu udah punya cewek atau gimana sih?"

Biru tersenyum miring, rasa nya ia sudah mendengar pertanyaan itu ribuan kali.

Bicara soal cewek, Biru memang tidak pernah berniat menjalin hubungan serius dengan siapapun. Bagi Biru satu-satu nya wanita paling sempurna hanya mendiang mama nya. Namun sial nya wanita paling sempurna itu harus bertemu dengan pria brengsek seperti papa nya.

"Weh, lo mikirin apa sih?"

Marlo menepuk lengan Biru.

"Gue gak berencana menikahi salah satu dari mereka"

"Mending buat gue"

"Ambil aja, lo mau ambil semua juga boleh"

Ucap Biru santai.

"Tapi serius nih gue. Kalau lo emang udah punya gebetan, kenapa gak di omongin aja biar beliau gak ngejodohin lo lagi"

"Mar, menurut lo kenapa setiap orang harus menjalankan suatu tradisi yang disebut menikah? Seperti layaknya keyakinan, setiap orang berhak untuk memilih kan?"

Pria bertubuh kurus itu menghela nafas.

Lagi-lagi Biru dengan logika aneh nya.

Ini seperti pertanyaan aneh yang dulu Biru tanyakan saat pertama kali mereka berteman.

"Kenapa Tuhan mengambil nyawa orang-orang baik? Apa sebenarnya dunia seharusnya cuma di isi oleh orang-orang jahat?"

"Maksud lo....lo gak mau nikah?"

Biru menjentikkan jari nya tepat didepan wajah Marlo.

"Lo emang sahabat gue!"

Terkadang Marlo memang setuju pada pertanyaan-pertanyaan konyol sahabatnya itu, tapi untuk kali ini di pikirkan dengan cara apapun ia tidak bisa menerima nya.

"Tapi...kenapa?"

"Mungkin aja lo belum mau nikah, bukan nya gak mau nikah sama sekali. Iya kan?"

"Engga. Gue emang gak mau nikah"

Sahut Biru penuh keyakinan.

"Karena mereka pilihan bokap lo?"

Biru menenggak soda nya, ia kemudian meremas kaleng kosong itu lalu melemparnya ke tempat sampah di sudut ruangan.

"Lo sendiri kan yang bilang kalau lo harus mengikuti perjodohan itu biar warisan bokap lo gak jatuh ke tangan si Billa?"

Marlo bertanya hati-hati, takut jika ucapannya membuat Biru merasa tidak nyaman.

"Tapi semua cewek yang dikenalin si brengsek itu sama aja kayak si wanita murahan"

"Lagi pula gue udah cukup sukses dengan kerjaan yang sekarang"

Marlo setuju jika itu semua yang menjadi alasan Biru tidak pernah membuka hati pada wanita-wanita yang dikenalkan papa nya.



...

Not FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang