"Bos gak pulang?"
"Bos?"
"Eh? Iya bentar lagi.."
Gevan pun menghilang dari celah pintu. Kemudian saat ia hendak menuju lift, Biru tiba-tiba saja memanggilnya.
"Hah? Yakin bos mau terima dia?"
Kening Biru tampak berkerut karena ia yakin tidak ada yang salah dengan ucapannya.
"Dia pinter, berbakat juga. So, why not?"
Ucap Biru santai seraya menggedikkan bahu.
"Lo....gak mungkin tiba-tiba jatuh cinta sama itu cewek kan?"
Tanya Gevan dengan tatapan menyelidik.
Biru tertawa lepas. Sebenarnya bukan tawa yang membuat orang lain juga ingin tertawa melainkan tawa mengerikan seperti dalam film thriller.
Usai puas tertawa Biru lantas menepuk bahu pemuda yang lebih muda.
"Udah gak usah terlalu di pikirin, lo tinggal seleksi yang lain kayak biasanya"
Setelah itu Biru kembali ke ruangan, sambil merapihkan meja nya Biru teringat lagi pada wajah Senja yang kebingungan saat memasuki ruangan nya.
"Gue kayak pernah liat dia tapi dimana ya?"
Biru bergumam.
Beberapa saat kemudian ponsel Biru kembali berdering menandakan panggilan masuk.
Pria itu menghela nafas berat, entah mengapa berbicara dengan Dino selalu membuat ia lelah.
"Halo.."
"Makan malam dirumah, hari ini ada yang mau papa bicarakan sama kamu"
Dino memang selalu begitu, ia hanya akan menelpon Biru jika ingin memberi perintah. Tidak pernah sekalipun ia menanyakan kabar putra nya, seolah mereka tidak terikat hubungan apapun.
•
Senja kembali mengatur nafasnya, mencoba tenang sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
Malam ini ia sengaja mengajak Daffa dan Reno untuk bertemu di kedai kopi tempat ia bekerja, karena kebetulan Senja masih memiliki waktu setengah jam lagi sebelum shift nya dimulai.
"Terus dia nanya pengalaman kerja, latar belakang gue dan minta gue perkenalan tapi pake bahasa Inggris"
Daffa mengangguk.
"Tapi.....kalian harus tau"
"Apa?"
"Apa?
Ujar Daffa dan Reno berbarengan.
"Orang yang manggil gue ke ruangan nya itu ternyata pemilik kantor"
"Woah? Serius? Gila keren banget!"
Reno ikut antusias mendengarnya, pemuda itu bahkan memukul kecil lengan kakaknya.
Senja mengangguk penuh semangat, dengan senyum yang menghiasi wajah dan dua buah netra coklat nya yang berbinar-binar membuat wanita itu semakin terlihat menarik.
"Berarti lo gak di wawancara sama hrd nya?"
"Engga, sama pemiliknya langsung"
"Setelah lo bikin keributan?"
Daffa mengerutkan kening nya.
Melihat ekspresi Daffa membuat Senja ikut terdiam, jantung nya pun mendadak berdegup kencang.
"Apa? Apa artinya?"
Daffa yang sadar bahwa Senja sudah berhasil terbawa suasana, pun melanjutkan aksi nya. Ia semakin diam dan menampilkan ekspresi serius yang mencurigakan.
"Daffa...lo jangan mulai deh"
Pria itu mengetuk kening Senja dengan ujung jari nya– sebagai upaya mengusir perasaan gugup karena wanita itu terlalu dekat dengan nya.
"Gak udah deket-deket juga kali muka lo"
"Kurang ajar!"
"Ya maka nya lo jangan bikin penasaran, kebiasaan banget kalau cerita setengah-setengah"
Senja terus menggerutu.
Dari jarak sedekat itu Daffa bisa menghirup aroma wangi yang lembut menyapa indra penciuman nya.
"Daff!"
Pria itu tertawa kencang.
"Ya gak apa-apa sih gue cuma suka aja liat lo panik"
Ujar Daffa setelah tawa nya mereda.
"Udah sana masuk, shift lo bentar lagi mulai kan?"
Senja masih merenggut kesal, mata nya memincing menatap Daffa.
"Awas lo ya!"
"Lo pulang ke kost atau ke asrama?"
Senja tak menjawab, ia segera berbalik dan memasuki pintu khusus karyawan.
Daffa terkekeh. Ia pun bangkit dari bangku dan beranjak meninggalkan kedai kopi itu.
Setelah meninggalkan cafe Reno yang sejak tadi memperhatikan interaksi Senja dan Daffa pun bertanya, sekedar memastikan firasat nya.
"Bang Daff"
"Hmm?"
"Lo suka ya sama kak Senja?"
•
"Aku udah memutuskan ini"
Dino mengangkat wajahnya langsung menatap Biru, menunggu putra nya melanjutkan ucapan nya.
"Aku akan cari calon istri ku sendiri"
"Siapa? Perempuan yang kamu kenal di klab dan kamu bayar untuk berakting sebagai pacar mu?"
Biru menenggak minuman nya, tersenyum simpul, lalu memperhatikan papa dan ibu tiri nya.
"Kalau aku mengenalkannya pada papa, papa harus berjanji untuk berhenti menganggu hidup Biru lagi"
Dino menggedikkan bahu nya.
"Baik kalau itu yang kamu mau"
"Papa beri kamu waktu sebulan"
Diam-diam Biru menelan ludah dengan gusar, merutuki kebodohannya karena sudah berbohong dengan papa nya.
Entah bagaimana ide yang muncul saat Biru dalam perjalanan pulang ia ucapkan dengan yakin dihadapan papa nya.
Kini Biru harus bertanggung jawab atas ucapannya. Ia harus mulai serius mencari wanita yang mau diajak berkencan, atau setidaknya bisa diajak kerjasama untuk berakting sebagai pacar nya.
"Marlo! Di saat kayak gini gue harus nelpon Marlo"
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Fine
FanfictionNot Fine Not Fine You're bad Bad I'm in pain Pain Will we ever be fine © Chi, January 2024 [Day6]