XV

5 2 1
                                    

"Mas, gue keterima kerja di every-myday six company"

"Nama nya Biru, lo bisa liat sendiri foto nya di internet"

"Gue akan berusaha semampu gue, gue janji akan bantuin mas Rangga"

"Makasih banyak, Gev.."

Rangga menyesap kopi nya yang sudah dingin, mata nya masih betah menatap lampu-lampu jalan meski jam sudah menunjukkan tengah malam. Ia mendesah pelan, seolah isi kepala nya yang sibuk bisa terbuang bersama helaan nafas. Sudah 5 bulan berlalu sejak Gevan masuk di perusahaan besar milik pria bernama Biru itu, segalanya berjalan lancar sesuai dengan yang ia dan Gevan rencana kan, tetapi beberapa minggu belakangan ini trauma Rangga selalu menghampirinya dan hal tersebut cukup menganggu dokter muda itu.

Sebenarnya Rangga bisa saja menemui dokter Tyas, salah satu senior nya yang kini menjadi dokter spesialis psikolog. Tapi entah kenapa ia justru menahan diri dan memilih memikirkan semuanya sendiri sepanjang malam.

Rangga mengacak-acak laci nya untuk mencari amplop coklat berisi foto-foto yang telah ia kumpulkan. Dada nya refleks terasa sakit saat ia kembali menemukan foto dua orang anak kecil dan seorang wanita yang berdiri di taman saling bergandengan tangan, wajah ketiga orang itu tampak bahagia seperti biasa.

Rangga meremas dada nya sambil tertawa hambar.

"Sialan! Ternyata gue masih lemah"

Umpat nya.

"Gue gak bisa kayak gini terus, come on' Rangga!"

"Marlo?"

"Diam! Kamu gak boleh nanya, disini cuma boleh aku yang nanya"

Kei mengerjap bingung pada sosok tinggi yang kini berdiri di sisi ranjang nya. Nafas pria itu nampak tersengal-sengal yang menurut tebakan Kei sahabatnya itu pasti berlari sepanjang parkiran hingga ke kamar rawat nya.

"Minum dulu"

Marlo melotot kesal selagi menerima botol air mineral yang diberikan Kei.

"Kamu tuh ngapain sih?! Aku udah denger semuanya dari mama kamu"

Kei tersenyum lebar menampilkan ekspresi tanpa rasa bersalahnya. Melihat itu membuat Marlo ingin mengampuni perbuatan Kei lalu memeluk gadis itu erat, namun ia segera meringis dan menggeleng untuk menyingkirkan keinginannya itu.

"Maaf..."

"Kamu kan tau kalau ada aku disini yang selalu siap dengerin cerita kamu, dengerin keluh kesah kamu. Kamu bisa bersandar dan ngandelin aku"

Ucap Marlo panjang lebar.

Marlo tau ada hal yang disembunyikan Kei, hal yang selalu bisa ia temukan hanya dengan menatap mata gadis itu. Ia pun tersenyum lembut dan menepuk pucuk kepala Kei.

"Mama kamu bilang kamu banyak tekanan dari tempat kerja"

"Loh, Kei? Kamu kenapa nangis?"

"Hei, hei...kenapa? Sini cerita sama aku"

Marlo mendadak panik ketika Kei menangis sesegukan, ia pun segera menarik tubuh Kei ke dalam pelukannya.

Sungguh dalam hati Marlo berharap semua prasangka nya soal hubungan kedua sahabatnya itu hanya salah paham, dan apa yang ia dengar di kamar Biru itu kesalahannya.

Setelah dirasa gadis dalam pelukannya sudah lebih tenang Marlo lalu menghapus sisa airmata di kedua pipi Kei.

"Ada apa?"

Ucap Marlo berusaha menenangkan.

"Aku jatuh cinta sama Biru"

"Aku tau ini salah, tapi aku sakit waktu tau Biru mau tunangan..."

"Well Marlo lo kalah lagi"

"Marlo...aku harus apa?"

Dunia saat itu juga runtuh dihadapan Marlo. Segala harapannya, penantiannya selama dua tahun ini. Semuanya.

Butuh lima menit bagi Marlo untuk mengumpulkan 'dirinya' yang telah hilang sebagian, dan fokus menanggapi Kei.

Pria itu tersenyum, menghela nafas nya lalu menarik tangan Kei.

"Kei, kamu tuh cantik. Aku rasa udah banyak juga cowok yang bilang ini sama kamu, jadi aku yakin kamu pasti bisa lupain Biru. Ada banyak cowok yang bakal sayang sama kamu..."

"Aku salah satu nya"

Gumam Marlo membatin.

Sementara Kei yang mendengar itu hanya diam, tak berani menatap langsung pada mata sahabatnya.

Marlo mungkin benar. Tak seharusnya ia sesakit ini hanya karna Biru, ini sama sekali tidak seperti dirinya.

"Kei, sorry aku datang terlambat––"

Rangga berlari tergesa-gesa, ia segera memasuki lift agar bisa segera tiba di ruang tindakan. Setelah mengucapkan terimakasih pada pengunjung yang menahan pintu lift, ia pun menekan tombol lantai kemudian menunduk untuk mengatur nafas yang masih tersengal.

"Tunggu..."

Rangga yang berdiri dekat pintu pun menahan lift tersebut sampai pria itu masuk.

"Lantai 3, tolong"

Ucap Biru.

Dokter muda itu seketika membeku, tatapannya terkunci pada si pria yang berdiri di samping nya sambil memeluk bunga.

"Biru?"

"Ya? Anda mengenal saya?"



...

Not FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang