XXIX

4 1 1
                                    

Dua tahun kemudian

"Pa...ppaaa..papa"

"Eh Jio, apa kabar kesayangan om?"

"Mmmma...mama"

"Jio, ayo makan dulu"

"Loh lo dateng pagi banget, gak kerja?"

Daffa, pria yang baru datang itu justru mengabaikan ucapan si pemilik rumah karena sibuk mencium bocah berusia 2 tahun yang ia gendong.

"Jio manggil gue papa"

Kedua tangan milik Senja yang semula sibuk menyusun piring kini refleks berhenti. Ia pun berbalik sambil memasang senyum ke arah Daffa.

"Yuk sarapan bareng"

Sebenarnya Daffa tau sahabatnya itu paling pandai mengalihkan topik pembicaraan setiap kali ia mulai membahas soal hubungan mereka. Tapi selama ini Daffa memang tidak pernah memaksa Senja, ia ingin wanita itu menerimanya secara alami dan bukan terpaksa. Daffa bahkan tidak masalah jika harus menunggu setahun lagi jika itu harus.

"Jio lagi belajar ngomong ya?"

Ucap Daffa setelah duduk disamping Jio.

"Iya, dia lagi suka ngoceh...."

"Pinter banget! Nanti kalo udah lancar bicara nya om beliin kuda-kudaan ya"

Daffa melirik Senja yang baru saja menghela nafas, sepertinya ia bisa menebak kalau setelah ini wanita itu akan memarahinya.

"Daff, gue makasih...makasih banget karena lo selalu beliin ini itu buat anak gue. Tapi jangan keseringan ya, gue nya gak enak"

"Loh kenapa? Gue beliin mainan buat Jio karena gue mau kok"

"Iya, tapi apa gak lebih baik uang nya lo tabung buat keperluan yang lain?"

Daffa tersenyum lembut, membuat Senja meletakkan kembali sendok nya dan menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.

"Misalnya buat ngelamar lo? Tenang aja kalau yang itu gue udah ada tabungan sendiri kok"

Senja tidak bergeming, ia bahkan memalingkan wajahnya kearah Jio sambil mulai sibuk membersihkan pipi putra nya yang kotor terkena makanan.

Dua tahun sudah berlalu sejak Senja menerima kenyataan bahwa kakek dari putra nya adalah orang yang telah menabrak kedua orang tua nya hingga tewas, sejak saat itu pula Senja kehilangan kabar tentang suaminya.

Banyak hal berat yang sudah Senja lalui, terlebih saat ia harus berjalan sendiri menggunakan taksi untuk pergi ke rumah sakit saat mau melahirkan Jio. Namun begitu Senja selalu berusaha menahan tangis kekecewaannya, ia tidak mau bayi dalam perut nya tau kalau ia sedang sedih. Hingga akhirnya airmata itu tumpah ketika ia pertama kali melihat Jio. Bayi kecil yang menangis dalam lengan nya tampak tampan dan begitu polos.

Semenjak itu juga Daffa kembali ke Jakarta dan menjadi sosok yang selalu siap sedia ketika Senja membutuhkannya.

Daffa lah yang pertama kali datang saat Senja menelpon sambil menangis karena Jio yang tiba-tiba demam tinggi. Pria itu juga yang datang pagi-pagi untuk menemani imunisasi pertama Jio.

Mungkin karena itu lah kalimat pertama yang keluar dari mulut Jio saat melihat Daffa adalah "papa".

Senja kembali ke kasur setelah membersihkan mainan Jio, sambil memperhatikan wajah terlelap sang anak Senja mengelus lembut surai coklat Jio.

"Jio, kamu suka sama om Daffa karena dia selalu beliin kamu mainan ya?"

"Om Daffa itu sahabat mama sejak mama kecil, dia memang orang paling baik yang mama kenal"

Senja mengerjap kaget karena Jio tiba-tiba saja meracau dalam tidurnya.

"Papa..."

"Kamu sangat ingin om Daffa jadi papa kamu, ya?"

Gerak tangan Senja terhenti begitu kulitnya merasakan panas saat menyentuh kening Jio, ia pun segera menggendong balita berusia 2 tahun itu lalu membawanya keluar kamar.

"Kamu demam lagi, nak? Sebentar ya mama ambil dompet dulu, kita akan ke dokter"

Senja pun berlari ke kamar nya untuk bersiap, setelah memegang semua yang ia butuhkan Senja segera menggendong Jio keluar.

"Taksi! Pak taksi!"

Senja berdecak kesal karena sudah 4 kali gagal memberhentikan taksi, memesan taksi lewat aplikasi pun selalu ditolak. Entah karena ini sudah malam atau hujan yang mulai turun.

"Nak jangan nangis, nanti kita ke rumah sakit..."

Ia terus mengelus punggung Jio yang sedang menangis. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam, Senja merasa tidak enak hati jika harus menghubungi Daffa untuk meminta bantuannya. Tetapi tangis Jio yang semakin kencang membuat Senja mulai memberanikan diri.

"Halo, kenapa, Senja?"

"Daff.....Jio–"

"Jio..."

"Iya...iyaa gue segera kesana, lo tunggu aja 15 menit gue nyampe"

"Makasih ya, Daff"

Beberapa waktu kemudian mereka pun sudah berada dalam kendaraan menuju rumah sakit. Sesekali Daffa melirik sahabatnya yang kini memeluk erat tubuh mungil anaknya. Wajahnya yang dulu selalu tampak bersinar malam ini berubah kaku.

"Jio pasti baik-baik aja, percaya sama gue"

Ujar Daffa sambil mengenggam tangan Senja.

Wanita itu pun refleks menunduk memperhatikan tangan nya didalam genggamam Daffa, ia lalu menengok dan langsung bertatapan.

"Jio anak kuat, dia pasti bisa.."

"Lo jangan takut, gue bakal selalu ada buat lo dan Jio"

"Jio...hei sayang"

"Pa...ppaapa"

Daffa tersenyum sambil mengelus pipi Jio.

"Jio udah enakan, hmm?"

"Masih ada yang sakit gak?"

Jio menggeleng dan tertawa kecil.

"Syukur kalau gitu..."

"Mama lagi ke apotik, kita tunggu disini dulu ya"

Jelas Daffa setelah melihat Jio yang tampak mencari-cari ibu nya.

"Udah?"

"Sini Jio biar gue gendong"

"Gak usah, gak apa-apa kok..."

"Lagian anaknya tidur gini, kalau dipindahin nanti bangun"

"Daffa"

"Hmm?"

Senja ragu sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, tapi kemudian ia menggeleng dan tersenyum.

"Iya, sama-sama..."







......

Not FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang