JALAN SIMPANG (1)
Rama termenung di samping nisan ibunya. Saat itu hari sudah menjelang senja. Dengan lembut, ia mengelus batu nisan dari orang yang sangat dicintainya tersebut.
"Apa yang harus kulakukan, Bu?" bisik Rama sambil berusaha menahan tangis.
Tentu saja sang ibu sudah tak bisa menjawab lagi. Hanya ada suara burung tekukur dan perkutut yang terdengar di pemakaman.
Mendadak Rama mengangkat kepala dan mengarahkan pandangan ke segala arah. Entah mengapa, di antara wangi bunga kemuning di tempat itu, ia merasa mencium aroma parfum melati yang biasa digunakan ibunya.
Akan tetapi, ia tidak menemukan apapun selain seorang laki-laki dan perempuan tua yang juga sedang berziarah. Jantung Rama langsung berdebar kencang saat ia mengenali sosok si perempuan.
Karena tak ingin bertemu dengan perempuan itu, Rama buru-buru mengakhiri ziarahnya. Setelah berdoa dan berpamitan, ia bergegas pergi ke mobilnya.
Dari tempatnya, Fatur mengamati kepergian Rama. Ia sengaja tidak memberitahukan keberadaan Rama kepada Bu Yani, perempuan yang saat ini sedang ditemaninya.
"Pengacara busuk itu sudah pergi, Pak?" tanya Bu Yani.
Fatur tersenyum. "Ibu tahu juga rupanya. Sudah, Bu. Baru saja."
"Aku tetap tidak ikhlas, Pak. Bukan tentang kematian Ani, tapi soal ketidakadilan atas kematiannya," ujar Bu Yani dengan tatapan marah bercampur putus asa.
Fatur menghela napas panjang. Lalu berkata lirih. "Aku juga, Bu. Sebagai polisi, aku gagal memenuhi kewajiban. Maafkan aku, Bu."
Bu Yani meraih tangan Fatur dan menggenggamnya erat. "Aku tidak menyalahkanmu, Pak. Aku tahu kau sudah berjuang sampai akhir. Aku dan Ani hanya bisa mengucapkan terimakasih, Pak."
Fatur merasakan tangannya basah oleh tetesan airmata Bu Yani yang meleleh di pipinya. Perasaan bersalah di hati laki-laki itupun semakin besar dan menyesakkan.
"Sudah hampir maghrib, Bu. Ayo kita pulang. Nanti kemalaman."
Bu Yani menganggukkan kepala. Ia lalu mengusap nisan di depannya. "Ibu pergi dulu, ya, An. Baik-baik di sana, ya. Ibu pasti akan menyusul, kok."
Fatur lalu mengantarkan Bu Yani ke terminal. Setelah memastikan Bu Yani menaiki bus dan menitipkan Bu Yani kepada sopir, ia bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Naya langsung menanyakan keberadaan Bu Yani.
"Kok tidak diajak ke rumah dulu, Mas? Biar ibu makan dulu."
"Tadi sudah kuajak makan, Ya. Aku takut nanti ibu kemalaman di jalan," jawab Fatur.
Naya lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Tak lama kemudian, ia sudah duduk bersama Fatur di teras.
"Aku tadi tak sengaja bertemu Rama, Ya."
"Rama? Bukankah dia pengacara yang membela penabrak Ani, Mas? Di mana?"
Fatur meneguk kopinya. "Di pemakaman. Entah dia sedang menziarahi siapa."
"Lalu bagaimana dengan Bu Yani, Mas?"
"Cuma diam, Ya. Tapi, aku yakin di hatinya ada ribuan kutukan terucapkan."
"Apa memang tak ada lagi yang bisa dilakukan, Mas?" tanya Naya.
"Tak ada, Ya. Orang yang dipenjara itu bersikeras dia adalah pelakunya. Demikian juga saksi-saksi yang ada," jawab Fatur.
"Andai saja ayah masih ada," bisik Naya sambil menundukkan kepala dan meneteskan airmata.
Fatur mengelus rambut Naya. "Aku yakin ayah masih ada, Ya. Kalaupun benar-benar telah tiada, ia akan tetap hidup dalam setiap jiwa yang mengenang dan mendoakannya."