28

23 0 2
                                    

JALAN SIMPANG (28)

Semua bejana kaca di depan Rhao hancur berantakan. Laki-laki botak, berkumis, juga berjenggot tebal itu murka. Sebuah tato berbentuk seekor laba-laba berkepala perempuan berambut panjang dan berekor kelabang yang menghiasi ubun-ubunnya perlahan timbul, lalu merayap turun.

"Khalago, Penguasa Gua Ratapan, penuhi perjanjian kita," bisik Rhao, saat si laba-laba sudah berada di telapak tangannya.

Bersama kepulan asap, laba-laba tersebut menghilang. Setelah itu Rhao pergi ke tempat tumbal. Sambil mengisap energi hidup seorang pemuda, ia menatap ke arah cermin.

"Mengapa tidak kaugunakan salah satu dari tujuh panglima saja, Rha? Bukankah dia bisa menjamin kemenanganmu?" tanya El tanpa menoleh.

"Terlalu mahal biayanya. Kurasa mereka belum pantas mendapat kehormatan itu, El," jawab Rhao.

El tertawa. "Benarkah? Jangan-jangan kau yang terlalu takut memanggil mereka, Rha?"

Raut wajah Rhao langsung berubah. "Kau mempertanyakan kemampuanku, El?"

El menoleh. Wajah laki-laki itu datar tanpa emosi. Ia bahkan tersenyum. Namun, tatapan mata El tajam seperti harimau yang sedang menilai mangsanya.

"Tidak, Rha. Aku hanya berandai-andai saja. Sebab sudah lama tak pernah melihat mereka beraksi lagi."

"Jangan ladeni, Rha. Tampaknya Toni Chain benar. Siapapun kita, cepat atau lambat, semua yang ada di dekat El akan berakhir di luar papan catur," bisik Ami kepada Rhao lewat telepati.

Sambil menghela napas panjang, Rhao menundukkan kepala, kemudian berpura-pura fokus memulihkan diri. El pun kembali mengalihkan pandangan ke cermin.

"Jadi, apakah Toni lebih baik dari El, Am?" tanya Rhao.

"Sama saja. Tapi, setidaknya dia punya tujuan. Sementara El cuma bergulat dengan keinginan-keinginan yang tidak jelas dan selalu berubah dari detik ke detik. Apa kau tidak bosan, Rha. Kita bahkan tak tahu ke mana akhir semua pengorbanan kita," jawab Ami.

Bayangan wajah Albert, Frank, Lhevi, Khasim, Pablo, serta para pengikut El yang telah tewas berdatangan ke dalam benak Rhao. Mau tak mau, ia pun setuju dengan pendapat Ami.

"Lalu bagaimana menurutmu, Am? Kau ingin berpindah kotak?"

"Tidak, Rha. Aku tak mau lagi menjadi bidak. Aku ingin menguasai kotak," jawab Ami.

"Mimpimu terlalu besar, Am. El dan Toni adalah raksasa, sedang kau cuma seekor semut."

"Jika tahu caranya, semut pun bisa membunuh ular kobra, Rha. Aku tak mau memaksamu. Tapi jika saatnya tiba nanti, tolong jangan menghalangi kami."

Baru saja Rhao akan menjawab, El tiba-tiba memintanya memanggil pulang Khalago.

"Mereka kembali, Rha. Nyali ikan-ikan itu besar juga," ujar El.

Rhao menatap cermin. Di sana ia melihat Mpu Serangit, Kalabah, Turah, Gurah, bersama pasukannya sedang berdiri di luar dinding penghalang rumah El.

"Kita sambut mereka di sini, El?" tanya Rhao.

El menggelengkan kepala. "Tidak, Rha. Tempat ini terlalu mewah untuk menerima tamu-tamu gembel seperti itu. Kita terima mereka di neraka saja."

Usai berkata, El langsung memasuki lingkaran gerbang gaib. Diikuti Ami serta Rhao. Sedetik kemudian, ketiganya sudah berada di depan kelompok Mpu Serangit. Tak lama kemudian, Khalago ikut muncul di samping Rhao. Ia mewujud sebagai perempuan cantik berambut panjang, bergaun hitam, dan memegang cambuk bercabang banyak.

El menatap satu per satu lawannya. Lalu menggambar di udara dengan jari telunjuk kanan, lalu merapal mantra, "Emien, la Balaca roitar, makal seut yahma."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JALAN SIMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang