JALAN SIMPANG (6)
Gempuran Condromowo mengejutkan Roro. Ia meloncat menjauh dan berlindung di belakang pasukannya. Dengan gelisah, ia melihat kebuasan Condromowo mengobrak-abrik kepungan para anakbuahnya.
"Sial. Manusia terkutuk itu hebat juga," gumam Roro sambil menoleh ke arah Arum.
Roro yang mengira Arum lebih lemah dari Condromowo segera mendekati gadis itu. Ia berencana mengalahkan Arum, lalu menjadikan dia, Yani, dan Umi sebagai sandera.
"Jangan melawan! Lebih baik menyerah saja, daripada wajah cantikmu itu rusak!" ancam Roro sambil melayang cepat menuju Arum.
Namun, Roro terpaksa harus mengubah arah ketika selarik sinar hijau tiba-tiba menyambar tepat di depan wajahnya. Meski berhasil menghindar, Roro tahu energi Arum telah berhasil menyentuhnya. Sambil menjaga jarak, Roro berusaha meredakan panas di pipinya.
"Siapa kalian?! Mengapa menyerang kami tanpa alasan?!" tanya Roro.
"Pertanyaanmu salah. Kata ayah, mereka yang diam saja saat melihat kezaliman padahal memiliki kemampuan lah yang harus diberi pertanyaan," jawab Arum.
Roro menatap pendar cahaya kebiruan di seledang dan seluruh tubuh Arum.
"Apa hubunganmu dengan pemuda yang menyerang kerajaan kami?!"
"Maksudmu pasti Mas Brama. Dia kakakku."
Roro tertawa panjang. "Bagus! Sebentar lagi kaupasti akan kukirim menyusulnya!"
Raut wajah Arum langsung berubah, tapi segera kembali normal. "Kaujelas berbohong. Mas Brama belum mati."
"Memang. Tapi, sebentar lagi pemuda bodoh pasti menemui ajalnya di tangan ratuku," balas Roro.
"Jangan dengarkan dia, Nduk. Soal dusta, hasut, serta fitnah, iblis seperti dia memang ahlinya. Jin itu sedang berusaha mengganggu konsentrasi dan perasaanmu saja. Percayalah, Brama pasti baik-baik saja," ujar Mbah Marjo.
"Terimakasih, Kek. Aku juga yakin Mas Brama tidak akan kalah semudah itu. Aku pergi dulu, Kek. Biar kubungkam mulut besar iblis itu," balas Arum.
Roro sangat terkejut saat melihat Arum melesat ke arahnya. Belum sempat ia bergerak, sabetan selendang Arum sudah datang layaknya hujan. Sambil memaki-maki merutuki kesialannya, Roro pun harus berjuang keras melawan amukan Arum.
Di tempat lain, Brama juga sedang bertarung sengit melawan Ki Banger dan Marbaung. Ikat pinggangnya berganti-ganti memainkan jurus-jurus ajaran Mi'an, Moza, Gundala, Candrasa, Ki Mayangkara, Condromowo, Gundala, dan guru-guru lainnya.
"Siapa sebenarnya bocah gila ini? Mengapa ilmunya banyak sekali? Tapi, sebentar lagi energinya pasti habis," gumam Nyai Buli.
Tebakan Nyai Buli menjadi kenyataan. Pelan tapi pasti, energi Brama pun berangsur menyusut. Akibatnya, tubuh Brama menjadi sasaran empuk serangan Ki Banger dan Marbaung.
"Tampaknya aku memang harus menggunakannya," bisik Brama, sambil bersiap membuka segel cadangan energi yang diberikan Mi'an dan Moza.
Akan tetapi, tiba-tiba Brama merasa ada aliran energi memasuki tubuhnya. Tidak hanya satu, melainkan banyak. Aliran energi yang datang dari berbagai arah itu saling menyatukan diri dengan energinya.
"Semesta sendiri yang akan menentukan waktunya, Bram. Tugasmu hanyalah membuktikan baktimu sebagai kawan."
Ucapan Mi'an kembali memenuhi kepala Brama. Sambil mengucap syukur, Brama segera menyerang balik lawan-lawannya.
"Dari mana kau mendapat kekuatan, Bocah terkutuk?! Ilmu apa yang kaupakai?!" tanya Ki Banger murka.
Brama tak menjawab. Dengan tambahan energi yang terus mengalir, kali ini ia tak ragu lagi menggunakan jurus-jurus Udan Wayah Rendheng. Pedang yang terbentuk dari ikat pinggangnya menyambar dan menikam lawan layaknya butiran air di saat hujan paling deras.