JALAN SIMPANG (26)
Khasim tak punya pilihan selain ikut bertarung mati-matian. Energi api Taligeni memaksanya harus mengerahkan puncak ilmu Malapetaka Hitam. Sulur-sulur cahaya merah dan hitam pun saling lilit di sela kepul asap yang keluar dari tubuh keduanya.
Di rumah Naya, belasan Talijiwo melingkari Fatur, Naya, Rama, serta Danar. Mereka bertarung sengit membantu Naga dan Wira melawan ular-ular yang telah menyatukan diri hingga berbentuk menyerupai manusia. Seperti menari, sulur-sulur Talijiwo bergerak ke segala arah menghadang sambaran para ular.
"Kaulindungi saja mereka, Ndar. Raja ular ini biar kuurus," ucap Candrasa begitu tiba di dekat Kandar.
"Baik, Tuan," balas Kandar, lalu segera pergi.
"Kalian benar-benar meremehkanku! Jangankan berdua, bersepuluh pun bisa kuhabisi dengan mudah!" seru Pablo murka sambil menyerang dengan ularnya.
Candrasa menebaskan sepasang pedangnya. Dua cahaya biru keputihan melesat menghantam ular Pablo. Diiringi ledakan keras, ular tersebut terpental ke belakang.
"Tak usah berteriak-teriak, Tuan Ular. Tidak ada yang tuli di antara kita. Daripada mulutmu berbusa sia-sia, lebih baik buktikan saja kemampuanmu," balas Candrasa.
"Circulus infinitus!"
Seusai mantra diucapkan, si ular langsung melilit leher Pablo, lalu menggigit ekornya sendiri. Tak lama kemudian wujud Pablo berubah. Mata laki-laki itu membesar dan sisik kasar bermunculan di sekujur tubuhnya. Di saat yang sama rambut nabi kesepuluh El tersebut menjelma menjadi ular
Penampakan Pablo mengingatkan Candrasa dengan Kalapati dan Patiwulung. Namun tidak dengan energinya, Candrasa bisa merasakan sentuhan energi Pablo lebih beracun dari mereka.
"Ouroboros. Perfectus circulus," ucap Pablo.
"Sial. Aku lengah," gumam Candrasa, saat menyadari telah kini berada di dalam lingkaran cahaya merah
"Mati kau kali ini, Jin bangsat! Lux, exstinctorem!" seru Pablo sambil menepukkan kedua tangannya.
Candrasa pun terbawa ke mandala ciptaan Pablo. Tidak ada cahaya di sana, meski hanya sekecil debu. Candrasa bahkan tak bisa melihat tangannya sendiri.
"Di mana keparat itu. Keberadaannya seperti lenyap begitu saja," batin Candrasa sembari mengamati keadaan sekitar dan mempertebal energi pelindung tubuh.
Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam dada Candrasa. Disusul banyak lagi serangan lainnya. Karena belum bisa menemukan si penyerang, ia hanya bisa menerima semua gempuran lawan.
Candrasa berusaha menyerang balik dengan hujan panah api dan bola energi. Namun tak membuahkan hasil, semua energinya lenyap begitu saja di dalam gelap.
"Kalau begini terus, aku bisa mati konyol di tempat ini," gumam Candrasa.
Gempuran Pablo terus berdatangan tanpa jeda. Sambil berjuang mencari titik lemah ilmu lawan, Candrasa hanya bisa menjaga kekuatan perisai pelindung tubuhnya semaksimal mungkin.
Meski berada di posisi kesepuluh, kemampuan Pablo berada di atas Shisi dan Khemi. Hal itu karena dia telah berhasil mencapai puncak ilmunya. Alasan El tak juga menaikkan peringkat Pablo adalah ketidakmampuannya dalam mengendalikan emosi.
Di antara semua nabi, Pablo lah yang paling banyak melakukan pembunuhan. Oleh sebab itu El hanya mengirim Pablo dalam misi-misi pembantaian dan penghancuran.
Pablo adalah anak yang tumbuh dan besar dalam pertempuran. Ia menjadi saksi mata dari manusia-manusia yang kehilangan kemanusiaannya dengan mengatasnamakan Tuhan, kebenaran, dan keadilan.