12

10 1 0
                                    

JALAN SIMPANG (12)

"Kapan kau pernah berguru kepada Resi Nagawulung, Reng?"

Gundala tersentak. Pertanyaan Ganggang Wilis sangat sulit dijawab tanpa persetujuan Ki Galih Segara dan Tumenggung Nagamawa.

"Dulu, Lis. Waktu masih berkelana," jawab Gundala sekenanya.

Ganggang Wilis tahu Gundala berdusta, karena Resi Nagawulung mustahil mengambil murid dari golongan hitam. Sementara, di masa lalu Gundala adalah salah satu raja golongan hitam. Ganggang Wilis memilih tidak mendesak Gundala. Ia tak ingin membebani pikiran suaminya itu. Selain itu, bagi Ganggang Wilis, yang penting adalah Gundala hari ini dan bukan sosoknya di masa lalu.

"Kapan kau berangkat, Reng?"

"Secepatnya. Begitu istana setuju, aku akan pergi. Kelihatannya, Tuhan mengabulkan doa dan harapan kita, Lis. Meski dengan cara yang di luar kewajaran."

Ganggang Wilis tersenyum. "Kira-kira, siapa pencuri itu, Reng?"

Gundala menggelengkan kepala. "Entahlah, tapi jelas pilih tanding. Sebab dia bisa mengalahkan para penjaga Bale Pusaka," ucapnya. Bagaimana denganmu, Lis? Apa kautahu?"

Sambil tersenyum, Ganggang Wilis menggelengkan kepala. Tak lama kemudian, utusan Ki Galih Segara datang. Pemimpin Galih Segaran itu meminta Gundala hadir di balai pertemuan.

Di sana, Ki Galih Segara dan Tumenggung Nagamawa sudah menunggu. Bersama mereka, ada juga Nagalindu, Ki Sabet Mumur, Ranggabara, Ranggapari, beberapa perwira pasukan sandi, serta Ki Sabdasura, punggawa dalem istana. Gundala segera bergabung bersama Ranggapari dan Ranggabara.

"Gundala Wereng, Sagaselik, Ki Biring, Barunasa, Layangalun, Ranggabara, Ranggapari. Istana menugaskan kalian untuk menemukan cincin pusaka hadiah dari Laut Merah.

"Tugas ini tidak memiliki batas waktu. Akan tetapi, setiap purnama kalian diwajibkan melaporkan hasil pencarian," ujar Ki Sabdasura, lalu menyerahkan cincin carakayuda sebagai penanda mereka adalah utusan resmi dari Istana Laut Selatan.

Seusai menerima titah istana, Gundala segera menemui Ganggang Wilis untuk berpamitan. Sebagai bekal, Ganggang Wilis memberikan patrem pusaka dan tabung emas kecil bersegel.

"Bukalah tabung itu setelah berhasil menolong Kandar dan Condromowo," pesan Ganggang Wilis.

Meski bingung, tanpa tanya Gundala memasukkan tabung ke balik baju, lalu memeluk Ganggang Wilis.

"Aku pergi dulu, Lis."

"Tolong kembali lah dengan selamat, Reng. Kami menanti kepulanganmu."

*****

Ketika mendengar kabar menghilangnya Condromowo, Mi'an bersama Abinar dan Sisca bergegas ke rumah Fatur. Kepada mereka, Brama kembali menceritakan semua yang terjadi di tempat Mama Lomo.

"Septagram, heksagram, sebenarnya siapa orang-orang ini?" gumam Abinar.

"Mungkin sebaiknya kita ke rumah lamaku, Nar. Di sana ada banyak buku kuno peninggalan leluhurku. Siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk," ujar Sisca.

"Begitu juga baik. Kita butuh informasi, sekecil apapun itu," sahut Fatur.

"Antar aku ke rumah Mama Lolo, Bram," ujar Mi'an.

"Aku ikut, Yah."

"Terlalu berbahaya, Rum. Kau di sini saja bersama Fatur dan Naya," balas Mi'an sebelum pergi bersama Brama.

Di lain tempat, Ayu sedang mengawasi Giran. Ia ingin membuat perhitungan dengan laki-laki yang telah berbuat jahat kepada sang putri kesayangannya. Ayu sengaja memilih hari itu karena bertepatan dengan hari ulang tahun Sarah. Penyerangan Giran adalah hadiah khususnya bagi sang putri.

JALAN SIMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang