JALAN SIMPANG (11)
Ribuan bulu di tubuh Limbo tegak seperti duri pohon salak. Jin Gurun Kalahari itu lalu meloncat sambil memeluk kedua lutut di depan dada. Bola duri raksasa berwarna hitam kemerahan itu pun meluncur cepat menuju Condromowo.
"Aura energinya berbeda. Dia pasti berasal dari mandala lain. Baik lah. Kita lihat api siapa yang lebih panas. Apiku atau apimu." gumam Condromowo.
Sepasang sinar biru dari mata Condromowo melesat menghadang Limbo. Terdengar ledakan dan teriakan saat dua energi tersebut bertemu.
"Ternyata kau berisi juga, Kucing kurap. Kupikir cuma bisa menabraki mobil," ejek Limbo.
"Pikiranku juga sama. Kukira kau hanya bisa mencari kutu majikannmu," balas Condromowo.
Cahaya merah yang menyelimuti Limbo kian terang. "Akan kurobek mulut kotormu itu, Manusia tetkutuk!"
Condromowo justru tertawa. "Silakan saja, Sampah gurun. Sudah banyak jin dan manusia yang ingin melakukan itu. Tapi, sayangnya mereka semua lebih dulu kurobek-robek."
"Dasar makhluk sombong! Mati kau!" teriak Limbo sambil mengeluarkan senjata. Sebuah ngombe ngulu kini berada di tangan kanannya.
Condromowo mengamati pedang panjang yang memiliki lengkungan seperti clurit di sepertiga ujungnya itu. Dari aura energi pedang, ia tahu senjata Limbo telah memangsa bangak korban. Dan, karena Limbo berada di mandala ini, maka pasti ada banyak penghuni mandala yang menjadi korbannya. Amarah Condromowo pun perlahan bangkit.
"Merendahkan diri di depan bangsa asing bukan jalanku, Monyet gurun. Apalagi dia jahat sepertimu. Malam ini aku akan membalaskan kematian para saudara setanah airku, sekaligus mengembalikan harga diri mandalaku. Sadhumuk batuk, sanyari bhumi, ditohi pati."
Tanpa membuang waktu, Condromowo melesat maju. Limbo yang tak mengira Condromowo bisa bergerak sangat cepat, buru-buru mengangkat pedang untuk menangkis tebasan senjata Condromowo.
Tak butuh waktu lama, keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit. Condromowo melonoat, menebas, dan menikam seperti burung srigunting. Sementara Limbo bertarung layaknya monyet yang sedang diserang lebah. Ia memutar pedang ke segala arah untuk menangkis gempuran Condromowo.
Di palagan lain, Brama kewalahan menghadapi Mama Lomo. Semua serangannya sia-sia. Setiap pukulan atau tendangan Brama mengenai tubuh lawan, bagian tubuh itu berubah menjadi sangat lembek, lalu mengeras bagai batu. Tangan dan kaki Brama berulangkali terjebak dalam tubuh Mama Lomo. Saat terjebak itulah Mama Lomo menghajarnya.
"Bocah kosong saja sudah berani bermain-main denganku! Sana pulang panggil ayah, ibu, dan gurumu! Biar kulumat habis sekalian!"
Meski sangat marah, Brama berusaha menahan diri. Ia memilih mengumpulkan energi dan memikirkan cara melawan ilmu Mama Lomo.
"Seburuk apapun di matamu, setiap pertemuan yang diatur Tuhan adalah pelajaran. Tugas manusia adalah menemukannya, agar bisa belajar. Jadikan semua halangan dan musibah sebagai berkah Jika tidak demikian, maka yang ada di hati dan benakmu hanyalah kebimbangan, pengingkaran, atau kebencian." Brama mengulang pesan Mi'an sebelum memintanya turun gunung.
Brama menatap Mama Lomo yang perlahan melayang mendekat. "Jadikan musibah menjadi berkah. Apa artinya selain harus ikhlas, sabar, dan tawakal?"
Belum selesai berpikir, Mama Lomo sudah menyerang. Kepalan tangannya yang sekerar batu datang menyambar. Brama pun memusatkan energi ke tangan untuk menangkis serangan lawan. Benturan kekuatan membuat keduanya kembali terpental.
"Suryakanta. Semesta adalah kekuatan dahsyat jika tahu menggunakannya. Baik lah, aku akan mencobanya," ujar Brama yang saat memusatkan energi tadi, tiba-tiba saja teringat kenangan masa kecilnya.