22

12 1 0
                                    

JALAN SIMPANG (22)

Kabar penugasan Tumenggung Ganara juga didengar Ganggang Wilis. Ia menjadi kian gelisah. Apalagi kabar pencarian Condronowo masih belum membuahkan hasil. Berita terakhir yang diterima Ganggang Wilis, baru Kandar yang telah berhasil ditemukan.

Ganggang Wilis larut dalam dilema. Di satu sisi ia ingin menyerah, sedang di sisi yang lain ia juga tak tega melihat Gundala terus dihantui perasaan bersalah.

"Kayu sudah menjadi arang. Menyerah sekarang atau nanti, aku tetap akan dihukum," gumam Ganggang Wilis usai mengambil keputusan.

Sementara itu, peristiwa pencurian telah sampai ke Laut Utara. Sang Ratu melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk mempermalukan Laut Selatan. Ia lalu memanggil Mpu Serangit, salah satu pemimpin pasukan khusus istana.

"Tugas apa yang harus hamba lakukan, Yang Mulia," tanya Mpu Serangit.

"Cincin Laut Merah. Kaupasti tahu soal itu, kan?"

"Hamba, Yang Mulia. Tapi, menurut hamba cincin itu bukan benda istimewa."

"Itu karena kau menilainya sebagai pusaka, Mpu. Sedang aku melihat dari sisi yang berbeda."

"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak paham."

"Apa kata dunia jika kau menghilangkan hadiah dari salah satu mandala paling disegani di dunia, Mpu?"

Mpu Serangit terdiam. Sebagai pemimpin pasukan pemburu dan pembunuh, ia memang tak terlalu peduli dengan politik. Bagi Mpu Serangit, politik yang dipenuhi trik serta intrik adalah jalan para makhuk licik dan pengecut.

"Hamba pasti akan sangat malu, Yang Mulia," jawab Mpu Serangit setelah berpikir.

Dewi Pancar tersenyum. "Nah, sekarang kautahu ke mana arah pembicaran kita, kan?"

"Ampuni hamba, Yang Mulia. Penghuni Padepokan Cadaswingit tak biasa bersilat kata. Jika hamba tak salah, Yang Mulia ingin mencegah cincin itu kembali ke Laut Selatan."

"Benar, Mpu. Aku ingin kau membawanya ke Laut Utara. Tapi jika tak bisa, hancurkan saja."

"Ke mana dan siapa pembawa cincinnya, Yang Mulia?"

"Pasukan sandi sedang bergerak, Mpu. Kautunggu saja kabar dariku. Sekarang, tugasmu adalah menyiapkan pasukan. Aku ingin mereka siap ditugaskan sewaktu-waktu."

"Diberangkatkan sekarang pun pasukan hamba pasti siap, Yang Mulia."

"Aku tahu itu, Mpu. Hanya saja, aku ingin pasukan terbaik yang bergerak."

"Hamba mengerti, Yang Mulia. Kalau diizinkan, apa boleh hamba membantu mencari cincin itu?"

Dewi Pancar menatap Mpu Serangit. "Siapa yang akan kaulibatkan?"

"Tiga saudara angkat hamba, Yang Mulia.Turah, Kalabah, dan Gurah," jawab Mpu Serangit.

Dewi Pancar terkejut. "Tiga penunggu Patirtan Banyugeni itu saudara angkatmu?! Bukankah mereka terkenal gila dan tak bisa dikendalikan, Mpu?!"

Mpu Serangit tersenyum. "Mereka tidak gila, Yang Mulia. Turah, Kalabah, serta Gurah cuma pemarah saja. Tapi ilmu mereka hebat. Selain itu, ketiganya memiliki banyak anakbuah yang tersebar di mana-mana."

"Terserah kepadamu, Mpu. Pokoknya aku tak ingin misi ini diketahui pihak lain. Namaku tak boleh disangkut atau disebutkan."

"Jika memang begitu, mengapa Yang Mulia mengirim pasukan sandi?"

Dewi Pancar termenung. Pertanyaan Mpu Serangit mengusik pikirannya. "Kau benar, Mpu. Cepat atau lambat, Laut Selatan pasti akan menyadarinya. Aku akan memanggil mereka dan mulai sekarang urusan ini kuserahkan kepadamu."

JALAN SIMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang