JALAN SIMPANG (3)
Sepeninggal Fatur, Rama kembali bergulat dengan dilemanya. Ia sadar jika memilih menuntut Bobi akan kehilangan banyak hal. Sama seperti dirinya, para lawan juga memegang banyak rahasia kotornya. Dan, mereka semua akan bergabung untuk menghancurkannya.
"Penjara, rumah sakit, atau pemakaman. Siapkah aku menanggungnya? Lalu jika aku tiada, siapa yang akan merawat Danar?" batin Rama bimbang.
Dalam riuhnya perang batin, tiba-tiba saja Rama teringat dengan kata-kata Rahman tentang Tuhan, Dzat yang selama ini telah diabaikannya.
"Semoga saja Dia masih mau menerima kunjunganku," bisik Rama penuh harap.
Setelah sekali lagi melihat sang istri, Rama pergi menuju masjid yang ada di depan rumah sakit. Saking lamanya tidak sholat, Rahma bahkan sampai lupa urutan berwudhu. Beruntung di saat yang sama ada orang lain yang hendak berwudhu. Rama pun diam-diam mengamatinya.
"Sebaik-baiknya pelindung dan penolong adalah Allah," ujar orang tersebut setelah berwudhu, sambil tersenyum menatap Rama.
Rama tersipu. Orang itu ternyata tahu dia telah mencuri-curi melihatnya. Rama pun meminta maaf, lalu memperkenalkan dirinya. Orang itu bernama Nyoto.
"Tak usah malu. Kembali menghadap kepada-Nya bukanlah hal yang memalukan. Ayo cepat selesaikan wudhunya. Biar aku yang akan menjadi imam," ucap Pak Nyoto.
Seusai sholat, Pak Nyoto mendoakan Rama. Kemudian ia meminta Rama untuk berdoa sendiri.
"Jika belum bisa, tak perlu memakai bahasa arab. Dia memahami semua bahasa makhluk-Nya. Kekuatan doa bukan terletak di jenis bahasanya, tapi ada di dalam keikhlasan dan keteguhan niat dari si pendoa," pesan Pak Nyoto sebelum pamit pergi.
Sepeninggal Pak Nyoto, Rama kembali bersujud. Dalam sujud itulah dia memohon ampunan dan pertolongan. Di sela penyerahan diri itulah airmata Rama tumpah hingga membasahi sajadah.
Tanpa terasa, hampir setengah jam Rama tenggelam dalam sujudnya. Setelah perasaannya menjadi tenang, ia segera berjalan kembali ke tempat sang istri. Namun baru saja laki-laki itu memasuki rumah sakit, seorang perawat tampak berlari ke arahnya.
"Bapak ke mana saja?! Ditelepon tidak bis?!" tanya si perawat dengan wajah panik.
"Dari masjid, Sus. Memangnya ada apa?" Rama balik bertanya.
"Nanti saja, Pak. Sekarang cepat kembali ke kamar Bu Clara"
Melihat raut wajah si perawat, jantung Rama berdetak semakin cepat. Dengan setengah berlari, ia menuju kamar sang istri. Saat tiba di sana, Rama melihat seluruh tubuh istrinya telah diselimuti kain putih. Airmata Rama pun kembali pecah.
"Ternyata Tuhan tidak menerima taubatku! Jadi untuk apa aku kembali menghadap!" teriak Rama sebelum jatuh pingsan.
Dalam pingsannya, Rama merasa seperti berada dalam ruangan yang sangat gelap. Ia bahkan sampai tak bisa melihat tangannya sendiri. Karena ketakutan, Rama berlari agar bisa pergi dari tempat. Akan tetapi, setelah lama berlari, ia tetap tak menemukan jalan ke luar.
Rama tak putus asa dan terus berlari. Sampai akhirnya ia tak bisa lagi bergerak karena kelelahan. Di saat Rama nyaris putus asa, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya di kejauhan. Semangatnya kembali timbul. Terseok-seok Rama berjuang mencapai cahaya tersebut. Rama akhirnya bisa tiba di sana, meski dengan merayap.
"Yang sedang mengurungmu sekarang adalah kegelapan hatimu sendiri, Nang."
Rama tersentak. Ia mengenal betul pemilik suara yang memanggilnya dengan nama Nang itu. Cahaya yang dilihat Rama ternyata memancar dari dua sosok perempuan yang berdiri di depan pengacara itu.