17

16 1 0
                                    

JALAN SIMPANG (17)

Mul yakin keris pusaka hasil bertapa di Cuban Batok pasti bisa membunuh Gundala. Dengan penuh percaya diri, ia mengayunkan kerisnya ke dada Gundala.

"Jadi kau pemilik buto ini?" tanya Gundala sambil memegang tangan Mul, lalu mematahkannya.

Teriakan kesakitan Mul terdengar membahana di tengah hutan. Gundala tak sekadar mematahkan pergelangan tangan Mul, tapi meremukkan jari-jarinya serta memusnahkan sirkulasi energinya juga.

Batu cincin yang selama ini menjadi alat pemanggil dan pengendali Gulinggang pun ikut hancur. Ia kini tak terikat perjanjian dengan Mul lagi.

"Sekarang kau sudah bebas. Tentukan sendiri pilihanmu," ujar Gundala, setelah melemparkan Mul ke tanah.

Gulinggang hanya diam. Ia bergantian melihat ke arah Gundala dan Mul. Beberapa saat kemudian, jin-jin yang sebelumnya dihajar Gundala berdatangan. Sama seperti Gulinggang, mereka juga bingung menentukan pilihan setelah bebas dari ikatan perjanjian.

Gundala menatap satu per satu wajah gerombolan jin itu. Ia memahami kegelisahan yang sedang mereka rasakan. Setelah lama menjadi makhluk peliharaan, kebebasan bisa menjadi hal yang justru menakutkan.

Berbeda dengan jin yang secara sadar dan sukarela bersedia terikat dalam perjanjian, Gulinggang serta kawan-kawannya adalah jin yang disegel secara paksa untuk diperdagangkan sebagai budak oleh manusia atau jin-jin yang berhasil menaklukkannya.

Sebagai budak, selama ini mereka tidak pernah direpotkan soal urusan makanan dan tempat tinggal. Para jin ini hanya tahu tentang kewajiban menjalankan perintah dari sang majikan. Karena telah lama terbiasa tidak memiliki pilihan, maka saat diberi kesempatan memilih malah tak tahu harus berbuat apa.

"Kenapa kaukembali, Ki?" tanya Gundala saat melihat kemunculan Ki Amongsulo.

"Aku mendengar teriakan. Kupikir Tuan dalam masalah," jawab Ki Amongsulo sambil mengawasi Gulinggang dan kawan-kawannya.

"Kebetulan kaukembali, Ki. Aku akan mencoba membuat kesepakatan dengan orang-orang ini. Saat kuperintahkan, bawa semua kawulamu ke sini," ujar Gundala setelah merenung.

Gundala melihat ke depan. Ia bisa merasakan energi dari mereka yang sedang mendekati tempat itu. Setengah jam kemudian, Bowo muncul bersama para pemburu dari kota dan sebagian penduduk desa.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Gundala melesat ke arah mereka. Ia merampas, lalu menghancurkan setiap senapan, tombak, golok, dan senjata yang dibawa rombongan Bowo.

"Keluar lah, Ki! Kepung mereka!" seru Gundala.

Puluhan babi hutan tiba-tiba berdatangan dari segala arah. Tak hanya itu saja, tampak juga beberapa ekor macan kumbang, macan tutul, dan belasan ular sanca berukuran besar juga ikut mengepung.

Kemunculan berbagai binatang itu membuat seluruh rombongan Bowo gemetar ketakutan. Sebagian orang pingsan, jatuh terduduk, dan terkencing di celana.

"Sekarang kalian tahu bagaimana rasanya
dihantui kematian, kan?" tanya Gundala.

"A, a, apa salah kami? Bu, bu, bukankah binatang-binatang ini adalah hama yang harus dimusnahkan?" tanya Handy, salah satu anggota klub berburu.

"Hama? Sekarang katakan siapa yang lebih dulu ada di hutan ini, para binatang itu atau ladang, kebun, serta rumah kalian?" Gundala balik bertanya.

"Tapi tetap bukan salah kami. Mereka yang lebih dulu merusak ladang, menyerang ternak, dan juga orang," bantah Handy tak mau kalah.

Gundala menggeram. "Kalian membabat hutan serta menghancurkan mata air! Mereka jadi kehilangan sumber makanan dan minuman! Binatang-binatang ini hanya mencari makan, bukan menumpuk kekayaan seperti pengusaha kebun sawit atau tambang!

JALAN SIMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang