JALAN SIMPANG (10)
Setelah menerima uang muka, Mama Lomo menyiapkan peralatan ritualnya. Untuk menyerang dari jauh, ia membutuhkan bagian tubuh calon korbannya. Setelah beberapa lama berpikir, Mama Lomo memilih menggunakan servitor daripada jin peliharaanya.
Kelebihan servitor adalah, makhluk itu tidak membutuhkan banyak tumbal, patuh, dan mudah dilenyapkan. Karena energi yang menggerakkannya bisa diambil dari mana saja, jejak servitor juga sulit dilacak. Sementara kekurangannya, servitor lemah dan hanya mampu melakukan tugas-tugas sederhana.
Mama Lomo menggambar manusia sederhana di kertas dan mengguntingnya. Setelah itu, ia menusuk ibujari tangan kiri dengan jarum, menjilatnya, kemudian menempelkan ludah bercampur darah ke manusia kertas. Sebagai pengisi, Mama Lolo memakai energi salah satu batu kecubung koleksinya.
"Bangun lah, Tong. Ayo bantu aku," bisik Mama Lomo, lalu meniup manusia kertas.
Perlahan, manusia kertas itu bangkit. Ia menggerak-gerakkan tangan serta kakinya. Kemudian segera meloncat turun dari meja dan berlari pergi.
"Kausudah melihat rekamannya, kan, Bo? Kira-kira sanggup tidak melawan kucing itu?"
Sesosok jin berwujud monyet hitam bermuka merah muncul di samping Mama Lomo. "Jangankan kucing, Ma. Singa saja pasti bisa kulumat dengan mudah."
Mendengar jawaban jin dari Gurun Kalahari itu, Mama Lomo tersenyum.
"Baiklah kalau begitu. Artinya aku tak perlu memanggil yang lain.
Mama Lomo merentangkan tangan kirinya. Limbo bergegas menggigit pergelangan tangan sang majikan dan mengisap makanannya.
Pagi itu Putu mendatangi Ayu untuk memberitahukan kematian Kipli dan kawan-kawannya.
"Jadi kasusnya dihentikan, Tu?" tanya Ayu.
"Pasti, Bu. Sebab tersangkanya meninggal dunia," jawab Putu.
"Ya sudah kalau begitu. Mau bagaimana lagi."
"Saya tahu Ibu kecewa, tapi ini sudah prosedur. Saya tidak bisa berrbuat apa-apa. Sekarang masih diselidiki penyebab kematian mereka. Mudah-mudahan ada petunjuk."
Ayu tersenyum. "Jangan pura-pura, Tu. Kaupasti tahu mereka sengaja dibunuh, kan? Para penghuni gaib di sana tentu telah memberitahumu."
Putu tertawa untuk menyembunyikan rasa malunya. "Baru belajar sedikit, Bu. Biar bisa membantu kalau ada masalah seperti kejadian waktu itu."
"Sudah resiko, Tu. Sekali bersentuhan dengan mereka, sulit untuk lepas lagi. Mau tidak mau, kita harus beradaptasi."
"Benar, Bu. Saya belajar juga untuk menjaga diri saja."
"Ini ada hubungannya dengan laki-laki yang dihajar Sarah, ya?"
"Kemungkinan besar iya, Bu. Nama orang itu Giran. Sudah banyak korbannya, tapi selalu lolos karena uang dan koneksi bapaknya."
"Sebenarnya aku sudah tak ingin terlibat urusan seperti ini lagi. Tapi, dia telah mengganggu Sarah. Kita lihat saja, Tu."
Putu bisa merasakan aura Ayu berubah. "Aku paham, Bu. Cuma hati-hati. Aku tak ingin Ibu nanti berurusan dengan pihak kami."
"Tenang. Sebisa mungkin aku tak akan merepotkanmu, Tu."
Kebetulan hari itu Sarah pulang kuliah siang. Ayu lalu meminta Putu mengantarnya ke rumah Fatur. Di sana mereka disambut oleh teriakan gembira Arum. Ia langsung bergantian memeluk Ayu dan Sarah.
"Kak Naya dan Paman Fatur belum pulang, Bun," ujar Arum sambil meletakkan minuman di meja.
"Tuan Condromowo, Rum?"