JALAN SIMPANG (14)
Seluruh mimpi besar Brigjen Dodo hangus satu per satu. Kasus tukar kepala Bobi menjadi titik api yang menjalar ke mana-mana. Atas desakan masyarakat, kekayaan Brigjen Dodo pun akhirnya ikut diselidiki.
Brigjen Dodo tak tinggal diam. Beradu cepat dengan penyidik, ia berusaha mengamankan harta-hartanya. Saat sedang mencari cara menyamarkan uang, emas, dan permata itulah Brigjen Dodo mendengar tentang perusahaan investasi Albert. Tanpa pikir panjang, ia pun datang ke sana.
Tak disangka, di sana Brigjen Dodo bertemu dengan Kolonel Binsar. Keduanya lalu beradu mulut, saling menyalahkan satu sama lain. Ketika mereka nyaris baku tembak, Albert datang melerai.
"Tuan-tuan memiliki musuh yang sama, kan? Mengapa tidak bekerjasama saja?" ujar Albert dengan tatapan tajam.
Aura yang dipancarkan Albert membuat Brigjen Dodo dan Kolonel Binsar merasa segan. Tanpa sadar, keduanya menurunkan senjata.
"Sebaiknya Tuan Dodo dan Binsar duduk. Tidak ada gunanya bertengkar jika masih bisa dibicarakan," saran Albert.
Albert tentu saja paham kasus Bobi yang melibatkan Rama, Fatur, Brama, Mama Lomo, serta Condromowo. Akan tetapi, ia sengaja hanya menyebut, Rama, Bobi, dan Fatur saja.
Kolonel Binsar lalu bercerita upayanya bersama Letnan Zion menyewa jasa Mama Lomo untuk membunuh Fatur dan Condromowo.
"Aku sudah rugi 150 juta, Jendral," ujar Kolonel Binsar.
"Itu soal gampang, Sar. Asal berhasil, berapa pun akan kuganti," janji Brigjen Dodo.
"Kalau boleh membantu, mungkin orang ini bisa membantu kalian," sahut Albert sambil menulis nama dan nomor telepon Gus Amar pada selembar kertas, lalu memberikannya kepada Brigjen Dodo.
"Apa orang ini bisa diandalkan?" tanya Kolonel Binsar.
Albert tersenyum. "Buktikan saja sendiri, Kolonel. Aku tidak pernah main-main dalam memberi rekomendasi. Tapi, tolong jangan beritahu kalau saya yang memberi nama dan nomor telepon. Sebab saya sudah berjanji merahasiakan kemampuannya."
Setelah semua urusan selesai, Brigjen Dodo dan Kolonel Binsar langsung menghubungi Gus Amar untuk membuat janji. Mereka akhirnya sepakat bertemu di salah satu rumah Gus Amar. Di hari pertemuan, Letnan Zion juga ikut diajak. Sesampainya di sana, pelayan meminta mereka menunggu karena Gus Amar masih belum datang.
Sambil menikmati hidangan yang disuguhkan, Brigjen Dodo mengamati isi rumah Gus Amar. Dindingnya dipenuhi oleh bermacam tulisan dan ukiran kaligrafi. Selain itu, ia juga memelihara banyak burung perkutut, puter, serta tekukur.
"Apa kita tidak salah alamat, Sar?" tanya Brigjen Dodo ragu.
"Alamatnya memang di sini, Jendral. Kata penjaga pintu tadi, ini benar rumah Gus Amar," jawab Kolonel Binsar.
Setengah jam kemudian, sebuah sedan mewah memasuki halaman rumah. Sopir mobil keluar dan segera membuka pintu penumpang. Seorang laki-laki berusia limapuluhan memakai jubah putih, sorban, dan membawa tongkat turun, lalu berjalan cepat menuju rumah.
"Maaf menunggu lama Jendral, Kolonel. Seharusnya saya bisa ke sini lebih cepat, tapi Pak Hendrawan terus menahan. Terpaksa saya menurutinya," ujar Gus Amar, sambil bergantian menyalami Brigjen Dodo, Kolonel Binsar, dan Letnan Zion.
"Pak Hendrawan?" tanya Brigjen Dodo.
"Iya, Pak Hendrawan. Beliau ingin memastikan kemenangannya di pemilihan nanti," jawab Gus Amar.
"Musang tua itu tak hanya mengandalkan trik, intrik, dan uang saja. Tapi, rupanya mistik juga," batin Brigjen Dodo.
"Sekarang, apa keperluanmu, Jendral?"