JALAN SIMPANG (21)
Mharux meningkatkan energi hingga ke puncak. Wujud jin itu kian membesar. Apa yang awalnya cuma masalah sepele, kiini menjadi pertarungan hidup dan mati demi harga diri dua mandala.
Tiga semburan api berusaha menghadang gerak Gundala. Sang naga hitam seolah menari di angkasa. Meliuk-liuk untuk menghidari serangan, sambil sesekali melontarkan bola energi ke arah Mharux yang bergerak cepat ke segala arah.
Tiba-tiba wujud Mharuk pecah menjadi tiga. Kini Gundala diserang dari tiga arah sekaligus. Akibatnya, beberapakali semburan api Mharux berhasil mengenai tubuh naga itu. Meski belum berhasil menembus perisai sisik, energi api Mharux mampu mengganggu sirkulasi energi Gundala.
"Ternyata kau tak sehebat dugaanku, Ular busuk! Rugi aku menawarkan diri tadi!" Suara ejekan Mharux keluar dari tiga burung api.
Gundala sebenarnya hanya ingin mengusir Mharux. Ia tak mau menambah musuh lagi. Karena itulah Gundala sengaja mengubah wujud menjadi penggembala badai agar Mharux merasa gentar dan memilih pulang.
Akan tetapi kenyataan berkata lain, Mharux justru kian menggila. Serangannya semakin membabibuta. Tak ingin terluka sia-sia dibakar api Mharux, ia terpaksa meladeni keganasan si burung api
Gundala bergerak cepat memburu wujud-wujud jelmaan Mharux. Ia menangkap, mencengkeram, menggigit, hingga menebas dengan ekornya. Tiga burung api juga melakukan perlawanan hebat. Mereka mematuk, mencakar, serta menyemburkan api berulangkali ke tubuh Gundala.
Setelah beberapa lama saling serang, Gundala akhirnya bisa menghancurkan satu per satu burung-burung api tersebut. Saar mereka lenyap, Mharuk kembali mewujud sebagai perempuan cantik. Hanya saja, kali ini tubuh jin itu kini dihiasi luka-luka dan pakiannnya koyak di banyak tempat.
Gundala menyusul ikut berubah wujud. Meski tak sebanyak dan separah Mharux, ia juga mendapat beberapa luka. Ia berdiri di depan Mharux.
"Pulang lah. Kita sudahi pertempuran sekarang juga dan jangan pernah kembali lagi ke sini," ujar Gundala.
"Pulang? Setelah kau merusak wajah cantikku seperti ini?" balas Mharux sambil mengusap-usap tiga baris luka panjang di pipinya.
"Apa yang harapkan dari pertarungan selain dari luka-luka. Sekali lagi pulang lah. Jika kaumemaksa, aku tak akan menahan diri lagi."
Dari tatapan Gundala yang dingin dan tajam, Mharux tahu ia tidak sekadar mengancam. Mharux juga sadar kekuatannya sekarang pasti tak mampu melawan Gundala. Jika ingin tetap hidup, satu-satunya pilihan memang adalah pergi.
"Aku tidak akan pernah melupakan hari ini, Naga hitam. Ingat itu baik-baik. Kau benar-benar bodoh tidak membunuhku sekarang," ucap Mharux.
"Kematianmu pasti mengundang kedatangan saudara dan sekutumu. Aku sudah memiliki banyak musuh, tak butuh tambahan lagi," balas Gundala.
Mharux tertawa. "Dengan jalan hidup sok pahlawan seperti itu, apa yang bisa kauharapkan selain bertambahnya lawan? Jadilah penjilat atau kutu loncat seperti para pasien Amar, baru kau lawanmu akan berkurang."
"Aku sudah pernah berada di jalan itu, Dewi Api. Di sana cuma ada sekumpulan sampah, pengkhianat, dan musuh dalam selimut.
"Sudah lah. Kaupasti paham tak akan melawanku sekarang. Jika nanti ingin melanjutkan pertarungan hari ini, pergi saja ke Laut Selatan dan cari aku di sana. Namaku, Gundala Wereng."
Ketika mendengar kata Laut Selatan, Mharux tersentak. Ia segera teringat dengan cerita tentang sekumpulan manusia, jin, dan siluman yang pernah membuat huru-hara di Segitiga Formosa.
"Jadi kau benar-benar Gundala Werang dari Laut Selatan. Kukira tadi hanya mengaku-aku saja. Pantas saja tandangmu begitu hebat," ujar Mharux.
Gundala tersenyum. "Tak sehebat itu. Tanpa Mi'an, Candrasa, Kandar, dan yang lain, aku bukan lah apa-apa."