5

14 0 0
                                    

JALAN SIMPANG (5)

Sambil menyusuri jalan setapak, Brama dengan waspada mengawasi keadaan di sekitarnya. Aura energi gelap yang kian pekat menjadi isyarat jika tujuannya semakin dekat. Brama berhenti melangkah ketika melihat kobaran api melaju cepat menghampirinya.

Kobaran api itu berasal dari sebuah kereta kencana yang ditarik oleh lima kuda berkepala naga. Seorang perempuan cantik berpenampilan layaknya ratu ditemani dua pelayan melayang ke luar dari kereta tersebut.

"Bukankah Nyai Sasi sudah memberimu peringatan, Cah Bagus? Mengapa kau memaksakan diri?" tanya Nyai Buli.

Brama menatap jin perempuan bermahkota itu. "Aku hanya menjalankan kewajiban saja, Nyai. Sebagai manusia, sudah seharusnya aku menolong sesamaku."

"Mereka adalah budakku. Karena suka atau tidak, isi tubuh ibu dan anak itu berasal dari pemberianku," ujar Nyai Buli.

"Mereka tidak tahu soal itu, Nyai. Setahuku, ikatan baru dianggap sah jika calon pemuja menyatakan persetujuannya," bantah Brama.

Nyai Buli tertawa panjang. "Sebentar lagi si Yuni pasti akan setuju. Ia sudah putus asa karena tak sanggup membiayai ibunya."

"Dan aku tak akan membiarkan hal itu terjadi, Nyai," balas Brama.

"Kaupikir siapa dirimu, Bocah?! Sebelum kakekmu lahir, aku sudah menjadi ratu di tempat ini! Roro! Rara! Beri dia pelajaran!" teriak Nyai Buli murka.

Sepasang pelayan Nyai Buli melesat menuju Brama. Wajah cantik mereka berubah menjadi tengkorak dengan deretan gigi runcing seperti gergaji. Demikian juga kuku di tangan dan kaki, memanjang mirip mata kail raksasa.

Brama berloncatan menghindari sambaran Roro dan Rara. Sebisa mungkin ia menghindari benturan tubuh dengan kedua jin itu. Untuk mempertahankan diri, Brama melepas ikat pinggang, lalu menggunakannya sebagai cemeti. Cahaya putih kebiruan memancar dari senjata itu.

Pertarungan berlangsung sengit. Jika cakar Roro serta Rara menyambar seperti elang, maka ikat pinggang Brama meliuk dan mematuk layaknya ular. Berulangkali timang ikat pinggang Brama bertemu dengan cakar Rara atau Roro. Benturan demi benturan yang terjadi membuat energi Brama menyusut.

"Masih ada Nyai Buli, aku harus menyelesaikan mereka sebelum kehabisan energi," batin Brama.

Brama mengalirkan energinya ke ikat pinggang. Senjata lemas itu kini berubah menjadi kaku seperti sebilah pedang. Kemudian, Brama mulai memainkan jurus-jurus Udan Wayah Rendeng ajaran Mi'an.

Serangan Brama berubah drastis. Senjatanya memburu Rara dan Roro dari segala arah. Pelan tapi pasti, ujung ikat pinggang Brama berhasil menghantam tubuh lawan-lawannya.

Menyaksikan dua pelayannya terdesak dan terluka, Nyai Buli murka. Ia ikut maju menyerang. Brama yang saat itu sedang sibuk melayani Rara dan Roro tak bisa mengelak. Hantaman Nyai Buli tepat mengenai dadanya. Tubuh Brama pun terpental ke belakang.

Brama merasa dadanya panas dan sesak. Ia lalu buru-buru mengerahkan energi Wijaya Kusuma agar energi beracun Nyai Buli tak memasuki tubuhnya. Sambil melakukan itu, Brama berusaha menarik energi alam dengan ilmu Puspa Manunggal.

Meski telah menguasai dasar ilmu Puspa Manunggal dan Catur Tunggal, Brama belum mencapai tingkat setinggi Mi'an. Ia tak mampu menyerap energi sambil bertarung. Mengenai hal tersebut, Brama pernah bertanya kepada Mi'an.

"Kau baru bisa melakukannya setelah semesta menganggapmu layak, Bram," jawab Mi'an.

"Kapan itu, Yah?"

"Semesta sendiri yang akan menentukan waktunya, Bram. Tugasmu adalah membuktikan kelayakanmu."

Sambil berbaring, Brama merasakan aliran energi alam perlahan memasuki tubuh dan menyatu dengan energi utamanya. Brama sendiri sengaja berpura-pura pingsan agar Nyai Buli lengah dan tidak buru-buru menyerang lagi.

JALAN SIMPANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang