JALAN SIMPANG (24)
Untuk mendapatkan dukun baru, Brigjen Dodo kembali menghubungi Letnan Zion. Pada hari yang telah disepakati, Bambang dan Brigjen Dodo mendatangi alamat yang diberikan Letnan Zion.
"Benar ini lokasinya, Jendral?" tanya Bambang saat mereka tiba di sebuah lahan pemakaman.
"Benar, Pak. Lagipula, sudah biasa orang-orang seperti itu tinggal di tempat seperti ini," jawab Jendral Dodo.
Jendral Dodo menelepon Zion. Tak lama kemudian, si letnan muncul dari kegelapan. Ia memberi isyarat agar Jendral Dodo dan Bambang mengikutinya. Kedua orang itupun segera berjalan memasuki kompleks pemakaman.
Langkah Jendral Dodo terhenti di sebuah bangunan tempat menyimpan keranda serta peralatan lain. Betapa terkejutnya Jendral Dodo saat mengetahui Bobi juga ada di tempat itu. Ia berdiri di samping Letnan Zion.
"Apa yang kaulakukan, Bob!" teriak Brigjen Dodo ketika melihat si anak menodongkan pistol ke arahnya.
Tanpa ekspresi, Bobi menekan pelatuk pistol. Terdengar tiga ledakan memecahkan keheningan malam. Brigjen Dodo, Bambang, dan Zion terkapar di antara nisan. Masing-masing dengan sebuah lubang di keningnya.
Sambil berjalan menuju sebuah pohon beringin besar, wajah Bobi pelan-pelan berubah. Sementara itu, dari tempatnya ditahan, Bobi yang asli gemetar ketakutan menyaksikan semua kejadian mengerikan tersebut. Ia bahkan sampai terkencing di celana.
"Sudah kaurekam, Ma?" tanya Kandar setibanya di pohon beringin.
"Sudah, Pak. Tak ada yang terlewat," jawab Rama.
Kandar menoleh ke arah Bobi. Setelah melepas magazen serta membuang peluru, ia meletakkan pistol di tangan Bobi.
"Kali ini kau akan merasakan bagaimana sakit dan perihnya dipaksa mengakui kejahatan yang tak kaulakukan. Selamat menikmati hari-hari di penjara, Mayor."
Bobi tak menjawab. Ia masih tak bisa bergerak karena diikat surai Kandar. Setelah Kandar dan Rama pergi, barulah Bobi terbebas dari belitan surai. Ia langsung berlari menuju ke tempat Brigjen Dodo tergeletak. Tak lama kemudian terdengar sebuah letusan.
"Sudah kuduga, laki-laki pengecut itu tak akan berani menghadapi resiko kekalahan," ucap Kandar.
"Apa ini cara yang benar, Pak?" tanya Rama.
"Tak ada kebenaran dalam fitnah, Ma. Tapi, aku ingin Bobi merasakan hal yang sama dengan para korbannya. Sayang, ternyata dia memilih jalan lain."
Di saat Kandar menjalankan misi, Mi'an, Gundala, Nagabara, Ayu, serta Nagabantala telah meninggalkan Puserbumi. Berbekal informasi dari Frank, mereka bergerak menuju sarang El. Saat mendengar kabar itu, Kandar segera menyusul dan menyuruh Rama pulang sendiri.
Di Laut Selatan, sambil menangis, Ganggang Wilis akhirnya menceritakan aksi pencurian cincin kepada Ki Galih Segara, Tumenggung Nagamawa, dan Tumenggung Ganara.
"Aku akan ke istana untuk menyerahkan diri. Akan kutanggung semua hukuman dari Kanjeng Ratu. Kesalahan anak adalah kesalahan orangtuanya juga," ujar Ki Galih Segara.
"Tunggu, Ki. Jangan terburu-buru. Kita bicarakan dulu. Barangkali masih ada jalan keluar," cegah Tumenggung Nagamawa.
"Tak ada jalan lain, Tumenggung. Jika terlalu lama, aku takut seluruh penghuni mandalaku akan ikut dihukum juga," balas Ki Galih.
Tumenggung Nagamawa menatap Tumenggung Ganara. Sebagai punggawa yang ditunjuk istana untuk menemukan cincin, maka Tumenggung Ganara lah salah satu penentu nasib Ganggang Wilis.
"Aku tak pernah meragukan kesetiaan Galih Segaran kepada panji-panji Laut Selatan. Tapi, masalah ini benar-benar menempatkanku dalam posisi sulit, Tumenggung," ujar Tumenggung Ganara yang memahami makna tatapan Nagamawa.