CHAPTER 1

474 21 2
                                    


Bayangan itu masih tersenyum. Bayangan itu masih menampilkan sosok perempuan cantik dengan make up yang tebal. Warna bibirnya merah menyala. Kini bayangan itu nampak memperhatikan dengan seksama seseorang yang sedang duduk di depan cermin rias berukir. Lekat pantulan bayangan itu memandangi dirinya yang sesungguhnya. Dengan seksama diamatinya tiap jengkal bentuk wajahnya. Bukan dia sekali pikirnya. 

Namun hari ini dia yang sedang duduk didepan cermin oval itu, baru saja menghadapi hari terberat dalam hidupnya. Dan mungkin saja hari dari awal rasa sakit yang akan dia terima selanjutnya. Hari pengkhianatan. Namun bisakah dia mengatakan itu sebuah pengkhianatan jika semuanya berlangsung atas izin dan persetujuannya? Ya, sepertinya dia telah menciptakan neraka untuk dirinya sendiri. Mengizinkan sang suami untuk menikah kembali dengan perempuan lain.

Perempuan itu sesaat menunduk, tersenyum miris dan kembali mengangkat kepala, menatap kembali pada sosok bayangan yang kini tampak… menyedihkan? Ya, dia memang sangat menyedihkan. Berpura-pura bahagia memang sangat menyedihkan.

Perempuan itu meraih kapas dan micellar water diatas meja. Perlahan dia mengusapkan pada bagian pipi, lalu seluruh wajah yang kini menampakkan sosok berwajah pucat dengan tulang pipi yang lebih tirus. Benar, akhir-akhir ini dia kesulitan untuk menjalani hidup seperti biasanya. Seperti ada sebuah batu besar yang menindih dadanya, sakit dan sesak setiap hari.

Oleh karena itu, hari ini dia berusaha untuk menutupi segala kesedihan yang dia rasakan dengan memoles make up yang tebal. Tak ada yang menyangka jika dibalik senyum yang dia perlihatkan sepanjang acara tadi adalah untuk menutupi remuk radam dan hancur hatinya. Atau… mungkin mereka sebenarnya tahu jika dirinya tengah bersembunyi dibalik make upnya? Entahlah, semoga saja tidak.

Layar ponsel tiba-tiba menyala. Dari pop up dia bisa melihat ada sebuah notifikasi pesan yang mengirimkan sebuah foto. Penasaran, dia kemudian membuka pesan itu. Dan benar saja, sakit selanjutnya baru saja dimulai, dimana sebuah foto sepasang pengantin yang berdiri di atas pelaminan yang tak lain adalah suaminya, kini memenuhi layar ponselnya. Lalu, selang beberapa detik ponsel itu berdering. Menampilkan id sang penelpon.

“Halo, Aya? Itu beneran Lian? Apa yang terjadi?” Aya, perempuan itu hanya mampu menghela nafas berat. Dia mendongak, mencoba menghalau air mata yang lagi-lagi ingin mendesak keluar sebelum akhirnya kembali menatap pantulan dirinya pada cermin. Sudah banyak air mata yang Aya keluarkan sejak ide itu muncul. Dan gilanya dia pun menyetujui.

“Iya, Sella.” bisiknya dengan lemah. Lelah sekali rasanya.

“Then, How are you?”

“Nggak baik, tentu aja.”

Hening

Hanya helaan nafas berat yang terdengar diantara keduanya.

“Kamu sekarang dimana?”

“Aku sedang di apartemen, ingin sendiri.” Pelan, dan nyaris seperti bisikan ketika Aya memberitahu keberadaannya.

“Okay, I see.” 

Sella merupakan teman dekat dan satu-satunya orang yang menghubunginya hari ini. Satu-satunya orang yang peduli dengannya, meski tidak sengaja menghubunginya, tapi itu cukup memberitahu pada Aya jika ada seseorang yang masih peduli pada dirinya. Seperti memahami keinginan Aya sekarang, Sella tak lagi banyak bertanya. “Kabari aku kalau butuh sesuatu ya Ay…!”

Aya hanya bergumam, sebelum mengakhiri percakapan mereka. Kembali Aya menatap sosok bayangan di depannya dengan sorot mata kosong, lelah dan seperti tak bernyawa. Aya masih tak habis pikir kenapa dia sanggup melakukan tindakan bodoh yang pada akhirnya akan membuatnya kesakitan sendiri seperti ini?

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang