CHAPTER 16

204 22 0
                                    



Jalanan pagi ini ramai lalu lalang para pejalan kaki. Embun menikmatinya. Dia termasuk salah satu orang yang memilih berjalan kaki menikmati suasana kota pagi hari. Sengaja dia meminta driver taksi online menurunkannya di titik tertentu. Karena dia ingin menenggelamkan dirinya dengan lautan manusia yang mulai beraktivitas di pagi hari.

Sisa-sisa hujan semalam, membuat genangan-genangan kecil di pinggir jalan. Paving block trotoar yang berwarna warni tak menutupi basahnya dari para pejalan kaki. Semilir angin yang berhembus terasa dingin mengawali pagi. Apalagi matahari yang nampak tertutup awan menaungi orang-orang dari sengatan teriknya yang kini redup.

Sejak dulu Embun bukanlah karakter orang yang suka keramaian. Sejak sang Mama meninggal dia lebih sering menyendiri di rumah. Dan sekarang dia menjadikan keramaian sebagai tempat untuk menyembunyikan diri. Dia suka menikmati dan memperhatikan orang-orang dalam diam. Menjadikan sunyi hatinya yang sendiri menemaninya dalam keramaian. Terkadang dia hanya akan duduk sendiri di taman, di cafe, mengamati keramaian dan aktivitas lalu lalang orang-orang disekitarnya. Atau dia akan seperti sekarang, berjalan sendiri bersama banyaknya orang dalam keramaian pagi.

Sepi dalam keramain. keramaian dalam sepi.

Hembusan angin sedikit kencang. Embun mengeratkan cardigan rajut yang dia kenakan. Mendongak. Dilihatnya awan yang berarak semakin pekat. Sepertinya akan kembali turun hujan. Embun mempercepat langkahnya. Namun saat netranya menangkap siluet sosok yang tak asing di matanya, dia menghentikan langkah. Memicingkan mata, memastikan bahwa netranya tak salah.

Di depan sana, di sebuah emperan toko yang berlabel cake and bakery, seorang wanita seusianya terlihat memukul dada seorang pria berkaos polo putih. Pria itu hanya bergeming tak membalas apapun yang diucapkan si wanita dengan berapi-api. Setelahnya justru wanita itu menangis tersedu-sedu. Pria itu tampak muak, lalu membuang wajah yang sialnya kini menghadap ke arah Embun. Tatapan mereka bertemu. Awalnya dia melihat keterkejutan di mata pria itu. Namun hanya sepersekian detik, karena setelahnya pria itu tampak menatapnya datar. 

“Mas Fano…” Gumam Embun lirih, yang entah didengar laki-laki itu atau tidak.

Iya, pria yang kini memalingkan muka dari Embun lalu menatap wanita di depannya dengan dingin adalah Fano. Salah satu chef di Bon Appetit. Sedang apa Fano disini? Dan siapa wanita itu?

Tetesan air dari langit yang menyentuh wajahnya membuatnya tersadar, tak seharusnya dia berlama-lama berdiri disana. Embun kembali mengayunkan kakinya, melewati Fano dan perempuan yang masih sesenggukan itu. Namun sialnya tepat saat dia melintasi keduanya, dia mendengar hal yang tak seharusnya dia dengar.

“Mas Fano, nggak boleh gitu sama Mama, jahat banget sih. Kita ini saudara!! Aku nggak tahu kalau Ryan itu kenal Amelia.”

Hal terakhir yang didengar Embun adalah decakan dari Fano. Karena selanjutnya dia tak lagi mendengar apapun karena jarak yang sudah cukup jauh. Atau Fano yang hanya diam tak menjawab, atau pria itu langsung pergi? Entahlah Embun pun tak berani kembali menoleh kebelakang untuk memastikannya. Jangan kepo urusan orang! Ingatnya pada diri sendiri.

Tetesan air berubah menjadi gerimis kecil saat dia hampir sampai di Bon Appetit. Dia berlari-lari kecil hingga akhirnya langkah kakinya sampai di Bon Appetit. Membuka pintu kaca, lalu masuk dengan tangan mengusap-usap cardigannya yang untungnya tak terlalu basah.

“Kamu kehujanan?” Embun terperanjat saat dia masih menunduk memperhatikan bajunya. Arlo, pria itu nampak mencemaskannya. Atau hanya dirinya yang terlalu percaya diri?

“Nggak kok, cuma gerimis kecil.”

“Kenapa kamu nggak balas pesan ku. Tadi kan bisa berangkat bareng?”
S

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang