CHAPTER 18

209 18 0
                                    

Embun merapikan bajunya yang cukup berantakan karena ulah tangan Lian. Lalu dia bangkit dari sofa, memungut celana jeans yang dilemparkan Lian lalu mengenakannya.  Setelahnya dia berjalan ke arah dapur untuk mencari sesuatu yang diharapkannya dapat menyegarkan pikirannya kembali.

Membuka lemari pendingin, Embun sedikit membungkuk saat mengambil botol minuman dari chiller. Setelah mendapat apa yang diinginkannya, wanita cantik itu hendak menegakkan badan, namun dirinya justru terperanjat saat merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya dari belakang. Dan merasakan dada bidang seseorang yang kini melingkupi tubuh rampingnya.

“Kok malah kesini?” Tanya Lian dengan menyandarkan dagunya di pundak Embun. 

Embun dapat merasakan dan melihat dari ekor matanya jika Lian kini menatapnya lekat. Entah apa yang dicari laki-laki itu pada wajahnya. Dia hanya bisa menghembuskan nafas panjang.

“Emang harus kemana? Tempat tinggal aku kan disini?” Embun tahu bukan itu yang Lian maksud. Dia hanya mencoba mengalihkan dari apa yang sebelumnya mereka lakukan. “Lagian aku haus.” lanjutnya dengan mengangkat dan menggoyangkan botol minuman.

“Bukannya tempat tinggal kamu ada disini?” Ujar Lian yang meraih satu tangan Embun lalu menuntunnya untuk memegang pipi pria itu  

Embun diam. Lalu memberanikan  menatap pria yang selama lima tahun ini membersamainya hidup dalam satu atap dan berbagi hal yang menarik.

“Dimana maksud Mas?”

“Dihati aku.”

“Sayangnya tempat tinggal yang mas maksud itu di dalamnya sumpek. Nggak baik diisi banyak orang. Sesak.”

Terdengar Lian menghela nafas panjang. Lalu pria itu melerai pelukannya dan dengan pelan membalik tubuh Embun. Kini wanita itu dapat melihat dengan jelas raut wajah lelah pada suaminya. Seperti banyak beban yang sedang dia pikul. Embun tak tahu apa yang sedang membebani pikiran pria dihadapannya ini. Katakanlah dia istri yang tidak pandai merawat suami. Well, kan ada Sahna.

“Malam ini kita pulang ya sayang. Aku akan bantu kamu mengemasi barang-barang mu.” Ucapan tiba-tiba Lian berhasil membuat Embun gelagapan.

“Nggak bisa Mas.” 

“Kenapa nggak? Kamu istri ku, dan aku berhak membawamu pulang!” Ucap Lian dengan suara kali ini yang terdengar rendah dan tertahan. Dia tahu jika suaminya sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Dan itu membuat Embun gentar.

“Aku ada kerjaan yang nggak bisa ku tinggal gitu aja Mas.”

“Sepenting apa kerjaan kamu sampai lebih penting daripada mengurus suami mu?” Lian menyilangkan tangan di dada, bersedekap. Dengan mata menatap Embun tajam.

Embun hanya menelan ludah kasar. Sebenarnya itu hanyalah alasan agar dia tidak kembali. Dia ingin menghindar. Tapi mau sampai kapan?

“Jangan kekanakan begini Ay!” Jangan lari dari masalah.”

“Aku nggak lari.”

“Oh, jadi kamu jauh-jauh dari jakarta ke bandung buat apa? Iya, aku tahu kamu nggak lari, tapi naik transportasi dan sembunyi di sini.” sarkas Lian.

“Aku hanya butuh waktu.”

“Buat apa? Kamu hanya terlalu menolak kenyataan Ay!”

Embun merasakan pandangannya kabur. Sepertinya genangan air memupuk di matanya. Bergelayut dan ingin terjun bebas.

“Aku nggak mau tahu, malam ini juga kamu harus ikut pulang ke jakarta. Dan aku nggak mau di bantah!”

                            ******

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang