CHAPTER 12

173 13 0
                                    



Suasana makan siang di rumah besar itu lumayan hidup. Denting sendok dan garpu saling beradu, serta sesekali gurauan terdengar dari meja makan. Hal yang sepertinya baru terjadi untuk pertama kalinya. Biasanya meja makan itu hanya akan diisi oleh kegiatan mengisi perut saja. Tak ada suasana keakraban. Table manner— itu yang diterapkan selama ini.

Namun tampaknya kehadiran sosok gadis kecil cantik diantara mereka adalah sesuatu yang menyenangkan, tidak seburuk yang dipikirkan selama ini jika makan hanyalah tentang bagaimana sopan santun dan tata krama dalam kegiatan mengisi perut.

Di ujung meja Papa Krisna duduk dengan kursi rodanya. Disebelah kanannya diisi oleh Mama Sandra, dan Audrey. Di sebelah kiri, kursi diduduki oleh Arlo, Gia dan Arsen yang sengaja menyempatkan pulang ditengah kesibukannya yang hectic demi bertemu keponakan tercantiknya— itu katanya. Sedangkan Ivy, si bungsu memberi kabar jika dia tidak bisa pulang makan siang karena masih ada jam kuliah yang tak bisa ditinggalkan.

“Gia suka makanannya?” Tanya Arsen seraya sedikit menundukkan kepala, sejajar dengan Gia.

“Suka Om, enak.”

“Emang makanan kesukaan Gia apa sih?”

“Apa aja Om, asal nggak pahit.” jawab Gia polos, membuat orang-orang di meja itu tergelak.

“Enak mana sama masakan di resto Papa?” kali ini Mama Sandra—sang Nenek yang bertanya.

“Em… enak masakan di resto Papa tapi kalau yang masak Mbun laaaagi sedap.” Kembali jawab gadis kecil itu sedikit menirukan dialog kartun animasi dari negeri jiran, kartun kesukaannya.

“Mbun?” Alis Mama Sandra bertaut, lalu menatap putra sulungnya dengan ekspresi meminta penjelasan.

Arlo meraih gelas minumannya lalu meneguknya dengan tenang. Dia letakkan kembali gelas itu ke meja. Lalu menyeka bibirnya dengan tisu yang tersedia.

“Siapa Ar?” Cecar sang Mama

“Pegawai di resto.”

“Lagi?” Suara Audrey tiba-tiba memotong dengan wajah tak percaya. Wanita itu bahkan mendengus kasar. Lalu meletakkan sendok dan garpunya di atas piring menimbulkan suara denting yang nyaring. Audrey menghenyakkan tubuhnya pada sandaran kursi. Dan melipat kedua tangan pada dadanya. Sepertinya dia tak selera melanjutkan makan lagi.

“Apa maksudnya lagi?” Mama Sandra pun turut bingung memandang Audrey lalu kembali menatap Arlo.

“Ini pasti ceritanya akan seperti yang dulu, tante.” Sesaat Audrey melirik pada Gia. “Si Bos sama karyawannya.” Cibir wanita itu.

“Audrey!” Tatapan peringatan Arlo membuat Audrey memalingkan wajah sesaat, namun kembali menatap Arlo dengan tajam. Lagipula kapan seorang Audrey pernah takut dengan orang lain.

“Mbak Dy, bisa nggak sih, tunggu sampai makan siang selesai. Ada anak kecil disini.” Arsen yang terganggu, menatap tajam pada Audrey. Jika tak ada Gia, mungkin dia tak segan memperingatkan Audrey, karena telah membuat suasana tak nyaman.

Mengerti akan situasi yang tegang, Mama Sandra berinisiatif menyuruh seorang butler untuk membawa Gia pergi dan tak menyaksikan perdebatan orang dewasa.

“Mina, tolong bawa Gia ke ke belakang sama baby sitter-nya!” Seru Mama Sandra kepada sang butler paruh baya.

“Baik, nyonya.”

Setelah merasa percakapan mereka tak akan menjadi konsumsi pendengaran Gia, sang Mama kembali berujar.

“Arlo, Mama nggak habis pikir, kenapa selera mu selalu seorang pelayan? Apa itu semacam fetish kamu?” Wanita yang mengenakan dress motif bunga besar selutut itu memicingkan mata menatap sang putra.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang