CHAPTER 6

282 23 1
                                    



“Mbun, tolongin Gia…” wajah gadis kecil itu menengadah menatap Aya, hingga dia bisa melihat mata bulat dan jernih gadis kecil itu. Cantik sekali.

“Gia…” pria jangkung itu kini berjalan santai ke arah Aya. Ekspresi menggelikan yang dibuat-buatnya tadi kini berganti dengan senyum lembut yang elegan dan… menawan. Duh apa sih! Ingat siapa lo!

“Gia… kita pulang yuk sayang, udah sore waktunya mandi.” Ulang pria itu lagi.

“Ndak mau Papa, Gia maunya mandi sama Mbun!” Pria itu melongo, hingga terlihat kesulitan berbicara. 

“Aduh, kasihan tantenya dong sayang. Tante kan baru disini ya tante?”

Memahami situasi antara Ayah dan anak gadisnya, Aya pun mengikuti alur yang sedang diciptakan sang Pria itu. “Iya, tante baru disini. Kalau boleh tahu cantik namanya siapa?”

“Bahagia.” Aya mengernyit tak mengerti, hingga suara berat itu kembali membawanya menatap mata si pria.

“Namanya Bahagia, panggilannya Gia.” Ucap pria itu masih dengan senyumnya yang tipis. “Halo perkenalkan saya Arlo.” Pria bernama Arlo itu mengulurkan tangan yang tentu saja dibalas olehnya. Sesaat Aya terdiam berpikir sebelum memperkenalkan diri.

“Embun.”

Ya, dia ingin sekali menggunakan nama Embun sebagai panggilannya kembali. Sebenarnya Embun adalah panggilan sang mama saat dirinya kecil. Namun panggilan itu diganti ketika sang Papa menikah kembali. Sahna yang saat itu memanggil sang Mama dengan panggilan bunda, menjadi pemicu digantinya panggilan Embun menjadi Aya.

“Takutnya ketuker, Bun, Mbun dan Embun.” Alasan Ayah kala itu.

Dan sekarang dia ingin menjadi Embun ditempat yang baru dan orang-orang baru.

“Akhirnya rumah ini ada yang nempatin.” Embun hanya tersenyum menanggapi ucapan Arlo. “Maaf Mbak Embun, kalau kedatangan Mbak harus disambut dengan adegan kejar-kejaran begini.”

“Nggak apa-apa Pak, namanya juga anak kecil.” Embun detik itu juga bisa menangkap raut tak nyaman dari wajah Arlo. Apa dia salah bicara? Baru hari pertama sebagai orang baru, sebisa mungkin jangan sampai memberikan kesan tak baik. Embun menggigit bibirnya lalu menundukkan kepala karena merasa sungkan sendiri.

Namun hal selanjutnya yang dia dapati adalah tatapan polos dari gadis kecil yang masih betah mendongakkan kepala menatap dirinya. Hal yang langsung membuat Embun sedikit membungkuk agar bisa berbicara dekat.

“Halo Gia, kenalkan nama tante, tante Embun.”

“Iya, Gia tau.”

 

“Oh ya?”

“Kan tadi Mbun udah kenalan sama Papa.” jawaban polos Gia membuat Embun dan Arlo tertawa. Dia memukul pelan keningnya lalu terkekeh.

“Iya ya, tante lupa.”

“Ndak pa-pa Mbun.”

“Kok Mbun sih sayang? Panggil tante dong! Nggak sopan!” Sela Arlo dan tak mengerti panggilan yang dilontarkan anaknya.

“Ihh bukan Papa… ini Mbun aku. Kayak Vita sama Lila meleka punya Mbun. Dan ini Mbun aku.” Gia semakin mengeratkan pelukannya pada kaki Embun. Embun tertegun. Apa maksud anak ini adalah… ah jangan berpikiran terlalu jauh! Embun menoleh ke arah Arlo yang meringis dan mengusap tengkuknya yang tak gatal.

“Ayo sayang, pulang!” Bujuk Arlo lagi. Namun sepertinya gadis kecilnya tak menggubrisnya sama sekali. Dan masih senang sekali memeluk kaki Embun seakan-akan enggan melepas.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang