CHAPTER 22

173 15 2
                                    



Embun sampai pada ruangannya yang telah lama dia tinggalkan begitu saja. Lebih satu bulan terhitung ketidakhadirannya di kantor itu. Membuka pintu ruangan yang masih sama dengan apa yang terakhir kali dia lihat. Embun melangkah perlahan. Pandangannya mengamati keseluruh ruangan. Tak ada yang berubah. Mungkin hanya terlihat lebih bersih dan rapi tentu saja karena akan ada petugas cleaning servis. Tumpukan kertas yang seingatnya terakhir kali tercecer dan berserakan, kini terlihat tertumpuk dengan rapi. Di atas meja kerjanya pun terdapat vas dengan bunga yang sepertinya masih baru dan segar. Satu-satunya hal yang baru diruangannya.

Benarkah tidak ada yang menggantikannya selama dia pergi? Kenapa Papanya tak menggantinya saja? 

Embun masih berdiri menatap meja kerjanya saat derit pintu yang belum sepenuhnya ditutup kini terbuka lebih lebar. Sosok yang selama ini seperti tak terjangkau kini berdiri di hadapannya dengan tangan yang bersedekap di dada.

“Akhirnya kamu kembali.”

Ada kilat amarah yang terpancar di matanya yang telah menampakkan kerutan-kerutan halus di sekitarnya.

“Sudah puas berpetualangnya?”

Embun menghembuskan nafas panjang, sedikit sesak karena tak menyangka dengan sambutan sang Papa. Tapi sambutan apa yang akan diharapkan dari orang yang sudah kabur dan menghilang selama sebulan?

“Apa kabar Pa?”

Sungguh Embun tak menyangka hubungan dan interaksi mereka akan se-canggung dan asing seperti ini. Entah sejak kapan tepatnya hubungan mereka mulai berjarak. Embun pun tak ingat pasti.

Sang Papa hanya berdecak kesal menanggapi pertanyaannya. Namun selanjutnya pria paruh baya itu melangkah menuju sofa dan duduk disana. Embun yang mengerti maksud sang Papa pun segera mengikuti. Apa Papanya akan mengajaknya berdebat sepagi ini? Sesuatu yang kemungkinan akan memperburuk suasana hatinya sepanjang hari nanti. 

Namun Embun tak punya pilihan. Kini mereka duduk di kursinya masing-masing saling berhadapan. Benar, seperti ada jarak tak kasat mata yang menyekat keduanya. Meskipun nyatanya mereka terhalang oleh meja persegi yang berada di tengah. Sebagai kepala divisi strategi marketing ruangan Embun cukup luas dan memiliki satu set sofa tamu yang biasa dia gunakan untuk mengadakan rapat dadakan bersama timnya.

“Papa mau teh? Biar aku suruh OB buatkan.”

“Tidak usah, Papa sudah kenyang. Bunda mu tidak akan membiarkan Papa bekerja dengan perut kosong.”

Ah iya… hampir saja dia lupa jika Papanya begitu menyukai masakan Mama tirinya. Alih-alih bersyukur sang Papa menemukan seseorang yang sangat mencintainya, terkadang terselip rasa penasaran dihati Embun. Apakah sang Mama sudah dilupakan begitu saja? Tapi… tak mungkin Papanya harus meratapi kepergian Mamanya bukan? Jadi memang sudah benar jika Papanya kini bisa hidup dengan tenang dan bahagia.

“Jadi, kemana saja kamu selama satu bulan lebih ini?” suara berat itu menarik Embun dari pikirannya sendiri.

“Aku di Bandung.”

“Aya, apa sebenarnya yang kamu pikirkan?” Masih dengan tangan bersedekap, menyandarkan punggung pada sofa, satu kaki diangkat dan bertumpu pada kaki lainnya, tatapan sang Papa kini tajam menusuk seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

“Refreshing.” Jawab Embun datar.

“Dengan meninggalkan tanggung jawabmu begitu saja?” Dengus sang Papa. Embun menunduk, dia tahu kesalahannya yang satu itu. Jadi dia tak akan mencari alasan untuk membela diri.

“Papa tidak pernah mengajarkan mu untuk lari dari tanggung jawab. Banyak staff yang menjadi tanggung jawabmu. Jangan karena perusahaan ini milik keluarga, kamu bisa seenaknya begitu saja.”

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang