CHAPTER 15

188 21 0
                                    

Embun terbangun saat bunyi alarm yang dia set dari ponselnya berdering. Meraih benda itu dari atas nakas, Embun mendapati bahwa waktu masih menunjukkan pukul lima. Dia bangun lalu duduk dan merentangkan tangan, menguap lebar-lebar.

Dia tertegun sejenak, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang belum sepenuhnya kembali. Dia mengamati suasana kamar asing yang kini ditempatinya.

Embun merasa hidupnya terlalu ajaib. Menapaki tempat-tempat yang tak pernah ada dalam bayangannya sedikit pun. Berada di kamar seseorang yang bisa dikatakan orang baru atau bahkan asing dalam hidupnya. Kemarin terdampar di kamar rumahnya, sekarang di kamar apartemennya. Besok kemana lagi?

Embun bisa saja lebih memilih pulang ke apartemennya. Tapi dia belum siap jika harus ditemukan dan berhadapan dengan Lian beserta keluarga besarnya. Terus sampai kapan kamu lari? Pertanyaan itu hanya selalu dijawabnya dengan “sebentar lagi” yah “sebentar lagi”.

Dia tertegun, mengingat keberadaannya saat ini buat Embun merasa bersalah pada suaminya. Lian. Mas Lian? Astaga… sedang apa dia sekarang? Sedang apa dia di pagi hari begini?

Sejak keberadaan Gia dalam hidupnya, jujur Embun merasa tak begitu kesepian karena ditinggal Lian. Sebaliknya terkadang Embun hampir lupa dengan suami tercintanya itu. Celotehan Gia mampu menghadirkan rasa baru pada diri Embun, rasa… menjadi seorang ibu.

Gia…

Saat teringat gadis kecil itu, Embun segera beranjak lalu membasuh muka. Kemudian beranjak ke dapur. Ya, pagi ini dia ingin memasak agar Gia tak lapar setelah bangun tidur nanti. Dia membuka kulkas dan takjub saat menemukan berbagai macam bahan makanan, sayuran, dan buah yang mengisi kulkas.

Kapan pria itu belanja kebutuhan harian begini? Bukannya dia menetap dia bandung? Ah bodo amatlah.

Embun mulai menyiapkan bahan dan memotongnya. Di sela-sela aktivitasnya dia menoleh pada pintu kamar yang masih tertutup rapat. Ada gelenyar hangat yang menyusup ke relung hatinya. Pagi-pagi bangun masak buat mereka, seperti memasak untuk keluarga kecil nggak sih? Dia tersenyum dan terkekeh pelan. Lalu Geleng-geleng kepala untuk mengusir pikiran liarnya yang konyol. 

Lalu tatapannya berubah redup. Seandainya dia dan Lian diberi kesempatan mempunyai buah hati seperti Gia, mungkin sekarang dia akan melakukan hal seperti ini setiap hari.

Saat pikirannya masih berandai-andai, dia mendengar suara pintu kamar terbuka. Dia menoleh dan menyaksikan Arlo yang… topless dan hanya menggunakan boxer. Mata Embun membulat. Saat pandangan keduanya bertemu, ada ruang yang terjeda, seakan semua terhenti. Terpaku.

Embun mengenakan dress pendek tanpa lengan sementara Arlo yang hanya mengenakan boxer. Astaga!!! Embun memalingkan muka cepat. Mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia merasakan pipinya terbakar. Pasti sekarang pipinya sudah semerah kepiting rebus.

“Selamat pagi.” Sapaan itu tak pelan namun juga tak keras. Datar. Embun menoleh memberanikan menatap Arlo yang sepertinya biasa-biasa saja.

“Selamat pagi, Mas. Udah bangun?”

“Hmm. Kamu sedang apa?”

“Mau masak nasi goreng buat kita sarapan.”

Arlo mengangguk-anggukan kepala. Ekspresi pria itu masih nampak terlihat tenang dan datar. Berbeda dengan Embun yang sudah ingin lari dan bersembunyi di dalam lemari. Memalukan.

“Maaf aku pakai dapur Mas tanpa izin.”

“Anggap aja rumah sendiri.”

“Ini kan apartemen, bukan rumah.”

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang