CHAPTER 20

170 18 2
                                    



Suara ketukan langkah menggema di tengah sunyinya lorong apartemen. Hanya jejak sepasang kaki dua orang yang menandakan bahwa kehidupan itu masih ada diantara bekunya sikap kedua orang yang kini menuju sebuah pintu sebagai tujuan keduanya.

Embun menghela nafas lelah setibanya di depan pintu unit apartemennya. Dia tercenung memandang pintu berwarna coklat tua itu. Dia telah kembali pulang—pikirnya. Setelah hampir sebulan meninggalkannya. Tempat dimana dia biasanya bersembunyi dan kembali dari kerasnya realita hidup.

“Apa kamu akan terus berdiri disitu?”

Embun menoleh pada suaminya yang berdiri di belakangnya. Setelah perdebatan keduanya di dalam mobil tadi, pria itu memilih lebih banyak diam. Entah karena pria itu enggan untuk meladeninya, atau dia diam karena marah? Entahlah.

Mungkin karena tidak ada jawaban dari Embun, maka pria itu kini berjalan sedikit maju lalu menekan pasword pintu yang telah dia hapal diluar kepalanya. Pintu terbuka dan beberapa lampu menyala. Sedangkan Embun masih tetap termangu di tempatnya berdiri. Memandang dengan ragu ruangan yang sedikit lebih terang itu dengan masih berdiri di luar pintu masuk.

“Kenapa masih berdiri disitu? Apa kamu mau aku gendong?” Ujar Lian dengan senyum menggoda. Ya, tampaknya pria itu ingin mencairkan ketegangan di antara mereka. 

Melihat ekspresi Lian, mau tak mau membuat Embun terkekeh kecil dan berjalan masuk melewati Lian begitu saja. Tiba di tengah ruangan, Embun kembali terpaku. Dia mengerjapkan mata saat melihat warna apartemennya yang kini terlihat lebih cerah. Warna dinding pudar yang seingatnya terakhir kali dia lihat kini terlihat seperti baru. Embun mengedarkan kan pandangan keseluruh ruangan. Lalu saat tatapannya menemukan netra Lian, Embun hanya mengangkat jari telunjuknya memutar ke seluruh ruangan. Seakan bertanya—siapa yang melakukan ini?

Mengerti akan isyarat gerak jari Embun, Lian hanya tersenyum seraya menyimpan kedua tangannya dalam saku celana. Pria itu turut mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mengikuti gerak jari Embun sebelumnya.

“Aku sengaja suruh tukang cat buat mengecat ulang karena catnya udah pudar. Gimana suka?”

Pertanyaan lembut Lian ternyata mampu membuat hati Embun yang diselimuti es salju kini mulai mencair. Dia tersenyum mengangguk senang. Apa ini artinya selama dia tidak ada pria itu masih mengunjungi apartemennya? Hati Embun kini layaknya musim semi bertaburan bunga.

“Suka kok.”

“Maaf kalau nggak minta izin dulu.”

“Aku harusnya berterima kasih sama Mas Lian karena udah mau urus apartemen aku. Terima kasih udah sesekali mampir kesini.” tidak mungkin sering kesinikan saat punya rumah baru? Kalimat itu hanya sampai pada ujung lidahnya.

“Mampir? Aku bahkan selalu menyempatkan kesini setiap hari. Bahkan sering menginap disini.”

“Me–menginap disini?” Mata Embun terbelalak.

“Iya kenapa?”

“Sa-sama siapa?”

Lian mengernyit heran. Namun setelah menyadari maksud dari pertanyaan sang istri, Lian hanya geleng-geleng kepala.

“Jika yang kamu pikirkan aku membawa Sahna kesini, maaf aku tidak sebajingan itu.”

Embun seketika menunduk, menyadari mungkin dia terlalu overthinking dan berlebihan. Lian menghela nafas lalu berjalan pelan mendekati Embun. Kedua tangannya menangkup wajah bulat Embun dan mengangkatnya ke atas sehingga tatap keduanya bertemu.

“Aku sering kesini karena merindukanmu. Kamu nggak tahu gimana aku menghabiskan malam-malam sepiku disini sendiri, tanpamu.”

Mendengar penuturan Lian, membuat Embun mengulum senyum geli.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang