CHAPTER 23

290 26 1
                                    





“Dari tadi aku perhatikan kamu kayak lebih pendiam? Apa ada masalah di kantor?” Lian yang sedang mengemudikan mobilnya tak dapat lagi menahan rasa gusarnya. 

Saat ini mereka tengah dalam perjalanan menuju sebuah hotel tempat acara dimana restoran yang mereka tuju berada. Perjalanan mereka lebih banyak diisi oleh keheningan diantara keduanya. Lian yang sejak pulang kerja mendapati perubahan sikap istrinya itu, hanya diam dan mengamati. Dia tak berani bertanya kenapa. Lebih tepatnya Lian memberi waktu Embun untuk menenangkan diri seperti kebiasaan wanita itu sebelumnya. Namun hingga menjelang keberangkatan mereka menuju acara makan malam, Embun lebih betah mengatupkan bibirnya. Istri Lian itu hanya akan menjawab dan menanggapi sekedarnya pertanyaan suaminya.

“Nggak ada.”

Embun yang sedari tadi hanya memandang deretan ruko dan pepohonan di pinggir jalan kini tertarik kembali pada alam nyata. Dia menghembuskan nafas sesak. Sejak tadi memang jiwanya seperti tak berada pada raganya. Apa yang dia duga ternyata menjadi nyata. Pembicaraan yang terjadi pagi tadi dengan Papanya, mampu mempengaruhi suasana hatinya bahkan hingga malam ini.

“Kamu yakin?”

Lian menoleh singkat pada Embun yang menganggukkan kepalanya—sebelum kembali fokus pada jalanan.

“Atau kamu nggak enak badan? Kita bisa pulang aja kalau gitu.”

“Aku nggak apa-apa.”

“Aya…”

“Lagian Mas mau bilang apa ke mereka kalau kita nggak datang?”

“Ya bilang kamu lagi nggak enak badan, sakit!”

“Tapi akan aneh dan terlihat bohong karena keesokan harinya pergi ke kantor.”

“Ya kamu izin aja, nggak usah masuk.”

Menatap lurus kedepan, Embun hanya menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Tersenyum miris. Andai saja Lian mendengar apa yang dikatakan Papa mertuanya tentang Embun yang menyakitkan telinga. Bisakah Lian membelanya? Atau justru dia akan membenarkan ucapan sang Papa?

“Nggak ada yang gaji aku dong?”

“Aya aku masih bisa menafkahimu dengan hasil kerja keras ku.”

“Iya aku percaya. Tp masalahnya itu dulu ketika Mas Lian hanya masih punya aku. Sekarang Mas Lian nggak hanya punya aku tp ada wanita lain lagi yg menjadi tanggung jawab Mas.”

“Apa kamu sedang meragukan kemampuan ku?” Ucap Lian yang sekali lagi menoleh pada Embun. Pria itu nampak tak percaya dengan apa yang dikatakan istri pertamanya.

Embun terdiam, dan hanya mengedikkan bahu ringan sebagai jawaban.

“Meski aku hanya dokter spesialis tapi kamu juga tahu aku punya beberapa saham di rumah sakit dan di PT. Cahaya Abadi, kalau kamu lupa.”

Yah, selain mengabdikan dirinya di salah satu rumah sakit swasta namun pria itu juga memiliki andil dalam pembangunan rumah sakit tempatnya bekerja.

“Dan tenang aja, jatah bulanan mu nggak akan berkurang, kalau itu yang kamu khawatirkan.” Imbuh Lian.

Embun tak menjawab meski dalam hati ingin membantah jika bukan itu alasannya. Tapi hari ini dia sudah merasa lelah untuk berdebat. Jadi kembali dia alihkan tatapnya pada deretan tiang lampu yang menyorot kekuningan di sepanjang pinggir jalan.

Beberapa saat dia masih sibuk dengan pikirannya. Dan merasakan saat tiba-tiba mobil bergerak pelan hendak berbelok, Embun kembali tersadar. Kini dia mengedarkan pandangannya. Sepertinya mereka telah sampai pada tempat yang mereka tuju. 

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang