CHAPTER 19

223 20 2
                                    



Perjalanan itu hanya diisi dengan keheningan. Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara mesin yang hidup diiringi suara wiper yang bergerak menghapus tetesan air hujan yang menghantam kaca mobil. Dan sialnya ditambah suara alami perut yang kini melolong minta tolong.

Kenapa disaat seperti ini perutnya pun mengkhianati. Tak mau memahami hatinya yang ingin sendiri. Memalukan sekali!

“Kamu udah lapar ya? Mau makan apa?” Lian menatap sekilas Embun yang sedari tadi diam.

Namun akibat suara perutnya sepertinya tak buruk juga, karena ada topik bahasan yang bisa dijadikan sebagai obrolan di antara keduanya. Kini mereka sedang melakukan perjalanan pulang menuju jakarta. Namun tak ada sama sekali rasa antusias yang dirasakan Embun. Justru segala macam pikiran muncul serta kegamangan yang dia rasakan begitu kuat.

“Aku nggak lapar.”

“Tapi perut kamu udah bunyi gitu sayang.”

Hening, tak ada sahutan dari Embun.

“Kamu marah?”

“Menurut Mas?”

“Iya, kamu marah.”

“Kanapa tanya kalau sudah tahu.”

“Cuma memastikan.”

Embun menghela nafas panjang. Sedari tadi pandangannya hanya dia fokuskan pada jendela disisinya. Lebih tepatnya melihat jejeran pohon dan lampu jalanan yang seakan-akan berjalan melewatinya. Jadi dia pun tak melihat bagaimana ekspresi dan raut wajah suaminya.

Entahlah, sejak dia melihat tangisan Gia, Embun merasa tak ingin apapun, kecuali memeluk dan meminta maaf pada gadis kecil nan cantik itu.

“Siapa sebenarnya anak kecil itu?”

Embun menghela nafas panjang, lalu membenarkan posisi duduknya dengan benar menghadap lurus ke depan. Namun dari ekor matanya dia dapat melihat jika Lian sesekali akan menatapnya disela pandangannya yang harus tetap terjaga ke depan.

“Dia anak tetanggaku.”

“Tetangga? Bukannya Pria dewasa tadi adalah orang yang sama saat dirumah sakit? Orang yang kamu bilang sebagai bos kamu itu?” Tanya Lian tak mengerti.

Embun masih setia memandang jalanan di depannya. Titik-titik hujan masih turun membasahi kaca mobil. Sorot lampu lampu jalanan yang memendarkan cahaya kekuningan serta pepohonan yang berjejer rapi sepertinya lebih menarik perhatiannya daripada menatap wajah suaminya.

“Dia memang tetanggaku. Sekaligus bos ku di restoran.”

“Jadi maksudmu pria itu adalah ayah dari anak kecil tadi? Sekaligus bos mu?”

“Ya.”

“Oh wow, kebetulan sekali ya?” Tak ada nada tinggi atau amarah pada kalimat Lian. Namun jelas itu hanyalah bentuk pertanyaan retoris Lian.

“Iya, kebetulan sekali.” Tak ada alasan lain karena sesungguhnya dia pun dulu tak menyangka jika akan bekerja pada Arlo.

“Lalu kenapa anak kecil itu memanggil kamu… Mbun atau Bunda sih?” 

Embun terkekeh pelan. Menghela nafas lalu menerawang, memutar kembali kilasan memori yang masih segar. Dia tersenyum sendu kala mengingat sore itu.

“Gia memang memanggilku Mbun, singkatan dari Bunda.”

“Akrab sekali ya?” Lian berucap datar namun ada suara yang terdengar dingin darinya.

“Iya kami akrab.”

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang