CHAPTER 11

205 19 0
                                    




Arlo menatap bangunan besar itu di bawah terik matahari yang mulai menyengat. Tak berubah pikirnya. Rumah di depannya terkesan bagai simbol keangkuhan daripada tempat ternyaman untuk pulang. Pria itu menghembuskan nafas panjang, lalu melepas kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.

Dia menoleh ke belakang saat Ratri baru turun dan keluar dari mobil dengan menggendong Gia.

“Biar saya saja yang gendong.”

Arlo meraih tubuh Gia. Digendongnya gadis kecil nya yang masih terlelap seperti tak peduli dengan sengatan matahari yang menyentuhnya. Arlo segera berjalan menuju rumah besar bergaya eropa klasik itu. Belum sempat dia menekan bel, tiba-tiba pintu besar bercat putih terbuka dan menampakkan beberapa pelayan yang membungkuk hormat padanya. Sepertinya kedatangannya sudah ditunggu-tunggu di depan pintu.

Suara sepatu Arlo yang bertumbuk dengan lantai memecah keheningan di rumah itu. Aneh, padahal rumah ini banyak penghuninya meski kebanyakan diantara mereka adalah pelayan, tapi suasananya lebih mirip seperti pemakaman.

“Arlo?”

Langkah Arlo terhenti saat sebuah suara dari ruang yang Arlo tahu itu adalah ruang seni yang sialnya ingin segera dilewatinya. Arlo menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya tersenyum antusias. Dan setelahnya berjalan menghampiri Arlo dengan netra yang bersemangat.

“Syukurlah kamu pulang.”

“Hai Ma.”

Sapa Arlo singkat pada nyonya Sandra, wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Arlo melirik pada pintu di belakang sang Mama. Tau kemana arah tatapan sang Putra, Mama Sandra, turut menoleh ke belakang lalu kembali menatap Arlo dengan tersenyum.

“Dia masih di kantor kalau itu yang ingin kamu tahu. Tadi Mama cuma taruh bunga segar di ruang seni.” Ujar Mama. Sedangkan Arlo hanya mengedikkan bahu ringan.

Ruang seni— mereka menyebutnya. Karena ruangan itu didesain dan dibuat khusus untuk seseorang yang menyukai seni lukis. Seseorang yang sialnya ingin Arlo hindari saat ini. Namun hal itu terdengar mustahil dan tak akan pernah terjadi.

“Gia tidur?” Perempuan paruh baya itu turut mengelus punggung cucunya. “Sana bawa ke kamar mu dulu, tidurkan! Baby sitter nya biar langsung ke belakang saja sama yang lain.”

Arlo lalu melangkahkan kakinya begitu saja, namun sebelumnya dia tak lupa menyuruh Ratri untuk beristirahat di kamar yang sudah disiapkan. Menaiki satu persatu anak tangga, Arlo akhirnya sampai pada sebuah pintu yang membuatnya berhenti sejenak. Diam, dia hanya menatap pintu itu lalu menghembuskan nafas panjang. Kamarnya yang lama telah dia tinggalkan. 

Arlo Kemudian memutar handle nya dan seketika aroma furniture kayu baru menyeruak ke indra penciumannya, menandakan jika kamar ini lama tak berpenghuni karena aroma plitur itu masih kuat. Iya, kamar itu adalah kamar masa dimana Arlo masih menjadi si bujang manis dan penurut. Apakah sang Mama baru saja mengganti furniture kayu dikamarnya? Sepertinya iya. Karena dia masih ingat ada beberapa furniture yang berubah dan ditempatkan pada tempat yang berbeda dari yang terakhir dia ingat.

Arlo melangkah masuk lalu mendekat ke tempat tidur. Dengan hati-hati dia merebahkan putri kecilnya yang masih terlelap pada ranjang yang empuk dan nyaman. Menyalakan pendingin ruangan, mengatur suhu agar sang putri kecilnya tak kedinginan atau juga tak kepanasan. Dipandanginya sosok kecil yang kini meringkuk dan terlihat rapuh itu— memeluk guling. Arlo terkekeh melihatnya. Lalu dia mendudukkan tubuhnya pada tepian ranjang, mengelus sayang pada rambut gadis kecilnya yang lembut nan hitam legam.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang