CHAPTER 21

209 18 0
                                    



Ada rindu yang tiba-tiba mengetuk, ada rindu yang ingin menyapa, memanggil-manggil untuk bertemu. Embun termenung kala menatap layar televisi di depannya. Sebuah serial kartun kesayangan Gia. 

Sengaja dia lakukan itu di jam-jam tayangan itu mulai. Embun selalu teringat pada gadis kecil cantik yang setiap kali berbicara dengannya, ada binar cerah dan kecerdasan yang terpancar sekaligus di matanya. Namun saat mengingat terakhir kali perpisahan mereka, Embun melihat ada luka dan kekecewaan disana. Apakah dia telah menyakiti gadis kecil itu? Sungguh ingin sekali Embun melihat dan memastikan keadaan Gia.

Sudah hampir dua minggu terhitung dari terakhir kali perpisahan mereka. Embun pun hanya tahu kabar tentang Gia dari Resti. Ya, teman kerjanya itu menghubunginya setelah menyadari keabsenan Embun di “Bon Appetit” setelah dia menghilang begitu saja. Maka saat Resti menghubunginya, Embun berterima kasih sekali pada gadis itu, karena masih sudi untuk menanyakan kabar dirinya. 

Embun sendiri seperti tak punya keberanian untuk menyapa teman-temannya di resto, bahkan dia pun tak punya nyali untuk menanyakan keadaan Gia. Dia takut. Takut jika justru sikapnya akan lebih menyakiti dan melukai Gia karena memberi harapan pada gadis kecil itu. Seorang ibu. Iya, Embun tahu dan tak bodoh jika selama ini Gia ingin dirinya menjadi Ibunya. Yang sialnya itu tak akan terjadi dan sulit untuk diwujudkan menjadi nyata.

Embun masih mengingat percakapannya terakhir kali dengan Resti. Gadis itu mengadu dan menceritakan segala hal tentang apa saja yang terjadi di Bon Appetit saat dirinya sudah tak berada disana.

“Mbak, tau nggak sih. Itu si supervisor ganjen makin hari makin nempelin Pak Arlo kayak koyo cabe di jidat. Ngeselin.!”

Embun terkekeh mendengar celotehan Resti.

“Ya biarin aja lah. Mbak Donna single, Pak Arlo juga single. Apa salahnya?”

“Serius Mbak Embun nggak cemburu?”

“Ya ampun, ya enggak lah! kenapa sih harus itu terus?”

“Jadi… rumor itu benar ya?”

“Rumor? Rumor apa?” Embun mengerutkan kening tak mengerti.

“Rumor kalau Mbak Embun ternyata udah bersuami.”

Embun tertegun sesaat. Namun selanjutnya dia hanya menggumam mengiyakan. Entah kenapa terselip rasa bersalah dan sungkan.

“Si ganjen itu yang awalnya sebar rumor kalau Mbak udah nikah. Awalnya aku nggak percaya. Pengen nampol itu mulutnya Donna. Tapi kalau udah dari Mbak Embun mengiyakan, aku bisa apa?”

“Emang kamu berani sama Mbak Donna?” tanya Embun.

“Nggak sih…” terdengar kekehan garing disebrang sana yang selanjutnya menular pada Embun. “Kita nggak akan ketemu lagi dong Mbak?” Sambung Resti, terdengar lirih disana.

“Kita kan masih bisa telponan? Atau video call?”

“Iya sih…”

“Kalau aku ke bandung nanti aku kabari deh, biar kita bisa meet up. Atau kamu ke jakarta aja main ke tempat ku.”

“Serius Mbak? Ajak keliling jakarta ya? Aku belum sempat keliling dulu waktu kerja di resto pusat, hehe…”

“Okay… siap!”

Itulah percakapan kedua nya sebelum berakhir dengan Resti yang berjanji akan main ke jakarta.

Embun masih termenung dengan pikirannya yang berkelana. Hingga bunyi suara alarm pintu terdengar dan menarik Embun kembali pada realitas. Dia menoleh ke arah pintu karena tahu jika ada seseorang yang akan masuk ke apartemennya. Detik berikutnya sosok tubuh tegap muncul dari balik pintu, lalu menutupnya. Melepaskan sepatu hitamnya kemudian mengganti sandal yang sudah disediakan. Dan kini pria itu tengah berjalan santai bahkan mengulas senyum yang dulu selalu Embun gilai.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang