CHAPTER 10

192 16 0
                                    



Samar dalam ingatan Embun, dulu waktu dia kecil, saat Mama berkutat di dapur membuat muffin kesukaannya, Embun akan senantiasa senang membantu dan menemani sang Mama. Mengaduk-aduk adonan dan menuangkannya diatas backing paper warna warni yang lucu. Meski pada kenyataannya dia lebih dikatakan merusuhi dan mengacak-acak dapur sang Mama. Namun pengalaman menyenangkan itulah menjadi hal pertama yang pada akhirnya membuat wanita itu senang dengan kegiatan dapur.

Jadi tak ada sesal bagi Embun saat memutuskan bekerja di restoran meski bukan sebagai chef. Seperti pagi ini misal sebelum Bon Appetit buka, rutinitas paginya akan dimulai dengan membersihkan meja-meja tamu, lalu dia akan beralih ke bagian dapur untuk membantu para chef membersihkan sayuran atau memilih-milih bahan baku yang fresh. Hal yang sebenarnya lebih dia sukai.

Sudah dua minggu terhitung Embun menjadi waitress di Bon Appetit. Kesibukan di kitchen utama membuat Embun kadang tak segan untuk berada disana, atau terkadang pula tak enggan untuk bertanya resep atau melihat secara langsung cara memasak para chef—terutama masakan perancis. Arlo memang tak main-main dengan bisnisnya. 

Dari informasi yang Embun ketahui bahwa Pria itu mempunyai beberapa restoran besar di jakarta, kesemuanya menggunakan brand Bon Appetit. Sedangkan Bon Appetit tempatnya bekerja sekarang ini, konon tak ada seujung kuku pun jika dibandingkan restoran milik Arlo yang lain. Sehingga banyak orang merasa heran mengapa Arlo lebih memilih mengurus kedai kecilnya ini.

Bon Appetit…. Sebenarnya brand itu tak asing di telinga Embun, tapi karena dia yang kuper dan tak terlalu tertarik makanan eropa—sebelumnya, jadi tak pernah wanita itu sekalipun menjejakkan kaki di sana. Dahulu dia lebih menyukai masakan oriental, chinese food, japanese food, atau korean food.

Dan yang diam-diam Embun kagumi dari sang Bos adalah keseriusan pria itu dalam menggeluti pekerjaannya. Passionately sekali. Terlihat dengan bagaimana pria itu mempekerjakan chef yang mempunyai kemampuan mumpuni dalam bidang kuliner. Hingga terkadang Embun memanfaatkan itu untuk menambah referensinya tentang berbagai macam masakan—apapun itu.

Syukurnya semua para pegawai di Bon Appetit sangat baik dan ramah padanya. Tunggu… sepertinya tidak semuanya. Karena…

“Embun, CV kamu kapan akan ada di meja saya?” Itu suara Donna. Yang secara tanpa basa-basi menegurnya. Embun yang sedang membantu mencuci sayuran di dapur lantas mendongak dan mengernyitkan kening.

“Sudah saya serahkan minggu kemarin kan Mbak?” Jawab Embun tak mengerti, pasalnya minggu lalu dia sudah menaruh CV nya di meja Donna, sesuai perintah sang supervisor itu. Di Bon Appetit ini, Arlo tak memerlukan tim HRD. Sudah dikatakan jika restoran itu hanya lingkup kecil dari bisnis restoran Arlo. Jadi pria itu langsung yang turun tangan dan mempercayakan Donna sebagai supervisornya.

“Iya, tapi ilang. Nggak ada di meja saya!”

Embun mengerjapkan mata, bibir kecilnya yang merah alami itu terbuka. Lha terus salah siapa kalau ilang? Namun Embun hanya menghela nafas panjang. Pasrah. Percuma mendebat Donna, karena sepertinya hanya Donna yang tak begitu suka dengan keberadaannya di Bon Appetit, entah karena alasan apa.

“Baik Mbak, besok saya akan serahkan ke ruangan Mbak Donna.”

Donna mendengus kesal. Dia beranjak meninggalkan Embun dengan dagu terangkat tinggi yang membuat Embun hanya geleng-geleng kepala. Orang macam Donna memang ada dimana-mana.

“Dia itu kenapa sih Mbak sama kamu? Kayak sensi banget?” Resti sesama waitress di Bon Appetit sering melihat sikap Donna, sampai terheran. Embun hanya mengedikkan bahu, sambil terus mencuci sayuran dan bahan baku lain hingga sepenuhnya bersih.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang