CHAPTER 31

292 27 3
                                    




Embun mengusap pigura usang yang membingkai foto lawas berharganya. Di dalamnya terdapat foto dirinya yang duduk di tengah diapit oleh Mama dan Papa kala itu. Embun ingat foto itu diambil ketika dirinya berulang tahun ke lima. Sekaligus foto terakhir yang diambil bersama sang Mama tercinta. 

Dia mengulas senyum sendu. Meski hanya sebatas memori samar di usia kanak-kanaknya, namun setiap kenangan bersama sang Mama berusaha dia gali dan ditanamkan lekat dalam benaknya. Foto itu memang sengaja dia tempatkan pada sudut meja kerjanya. Dia hanya ingin menghadirkan sang Mama dalam suasana perusahaan seakan-akan dia akan diawasi oleh orang yang sebenarnya adalah pemiliknya.

Setelah cukup puas memandangi, Embun lalu memasukkan foto usang itu dalam kardus bersama barang-barang miliknya dari ruangan kantor tempatnya selama ini bekerja. Ya, setengah jam yang lalu dia menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada HRD meski mereka membujuknya dan menanyakan alasannya. Dan tentu saja Embun hanya membalasnya dengan senyuman. Tak ada yang perlu dijelaskan. Atau lebih tepatnya belum saatnya memberi penjelasan kepada mereka.

Suara pintu terbuka tertangkap pada gendang telinganya, menandakan seseorang telah masuk ruangan itu. Namun Embun bergeming dan tetap melanjutkan kegiatannya melakukan packing. Dan dari cara orang itu yang langsung masuk begitu saja, Embun tau siapa yang—dari ekor matanya kini menatap dirinya.

“HRD bilang kamu mengundurkan diri? Benar?”

“Iya.” Jawab Embun singkat tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Dia terus memilah dan memasukkan berkas atau barang yang dianggapnya penting. 

“Ada apa ini Aya? Kenapa tiba-tiba kamu begini?”

Tak ada sahutan dari Embun.

“Kamu lagi ngambek?”

“Nggak.”

“Aya, haruskah Papa mengulangi kalau Papa nggak mengajarimu jadi orang yang seenaknya meninggalkan tanggung jawab begini!”

“Oh ya? Memang kapan Papa pernah mengajariku? Aku lupa.”

“Kamaniya!”

“Embun! Panggilan ku Embun!” Embun memalingkan wajah ke arah sang Papa dan menatap tajam pada pria yang kini terlihat pias.

“Itu panggilan yang diberikan Mama ku.”

“Aya, kamu kenapa?” Tanya sang Papa dengan nada lebih rendah. Seakan dia tak mengerti dengan perubahan tiba-tiba sang putri.

“Nggak ada. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya sudah kulakukan sejak dulu.” Embun kembali melanjutkan kegiatannya, menata beberapa barang ke dalam kardus di depannya.

“Maksudmu dengan meninggalkan posisi mu disini?”

“Lebih tepatnya mengembalikan posisi yang sebenarnya. Karena seharusnya aku nggak harus di posisi ini.”

“Dengar Aya, jangan main-main. Kondisi perusahaan kita sekarang sedang tidak baik.”

“Kenapa Papa tidak menggantiku dengan anak tiri kesayangan Papa itu disini? Bukankah dia selalu bisa diandalkan?” Sindir Embun. 


“Tolong jangan berbelit-belit Aya. Apa sebenarnya yang kamu rencanakan?”

Gerak Embun terhenti sesaat. Dia lalu berbalik dan menghadap penuh pada sang Papa yang tampak menunggu penjelasannya.

“Aku akan mengambil hak ku sebagai pemegang saham di perusahaan ini. Itulah posisi ku yang seharusnya sesuai dengan wasiat Mama dan juga satu-satunya keturunan kakek, bukan?”

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang