CHAPTER 32

456 38 6
                                    

Embun mengernyit melihat laporan di depannya. Sebelumnya dia memerintahkan seluruh kepala divisi melakukan audit besar-besaran. Dan hasil laporan keuangan sementara menunjukkan adanya dana besar yang tak wajar masuk ke rekening pribadi saudara dan ibu tirinya dengan jumlah yang fantastis. Membuat stabilitas keuangan perusahaan goyah. Penggelapan keuangan?

Embun menghembuskan nafas kasar. Dia lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa. Sesaat dia memejamkan mata dan meninggalkan lembaran-lembaran kertas yang membuatnya lelah luar biasa seharian ini. 

Saat ini matahari mulai tergelincir ke ufuk barat. Semburat warna keemasan menembus dinding kaca dan memancar ke seluruh ruangan. Pertanda waktu telah masuk sore hari. Masih betah memejamkan mata dia memutar-mutar kursi berharap sedikit lelahnya pergi. Namun yang terjadi adalah denyutan kepala yang menjadi-jadi. Embun pun memijat pelipisnya pelan.

Suara dering ponsel Embun berbunyi. Dia tersenyum kala melihat nomer baru—tak bisa dikatakan baru karena sebelumnya sudah bertukar nomor telepon. Di kala penat melanda tak pernah dia duga akan ada seseorang yang membuatnya kembali tenang. Embun mengangkat panggilan itu dengan antusias.

“Iya Gia, sayang…”

“Mbun lagi apa?”

Pertanyaan sederhana itu mampu membuat hati Embun menghangat. Akhir-akhir ini hampir tak ada orang yang menanyakan kesehariannya, atau perhatian semacam yang dilakukan Gia sekarang. Nyatanya gadis kecil itu selalu hadir di tengah kegersangan hatinya.

“Mbun… lagi kerja sayang.”

“Di restoran Papa?”

“Nggak… sekarang Mbun kerja di kantor. Gia sedang apa?”

Hening sesaat namun selanjutnya justru terdengar kasak kusuk di seberang sana. 

“Aku lagi bosen. Mbun kapan pulangnya?”

“Mungkin nanti sore sayang, kenapa?”

“Gia… boleh minta sesuatu?”

“Kenapa tidak? Bilang aja, sayang.”

“Gia… mau jalan-jalan sama Mbun. Terus beli ice cream.”

Embun tertegun sesaat. Dia dilema haruskah mengabulkan permintaan Gia atau mencari alasan lain, karena lagi-lagi takut memberi harapan kepada gadis kecil cantik itu. Namun dia teringat bagaimana gadis kecil itu selalu hadir saat dirinya berada dalam titik nadir.

“Harus sekarang ya?”

“Iya.”

“Coba nanti Gia tanya Papa dulu. Boleh nggak Mbun bawa Gia beli ice cream?”

“Boleh kok… pasti boleh! Boleh kan Pah?”

Eh… apa maksudnya?”

Namun samar terdengar suara bariton yang sangat dia hafal, menjawab pertanyaan Gia. “Boleh…”

“Boleh Mbun, Papa bilang boleh.”

“Jadi sekarang Gia lagi sama Papa?”

“Iya.”

Embun melongo lalu geleng-geleng kepala. Dia tak mengira ada Arlo di samping Gia. Biasanya anak itu lebih banyak bersama pengasuhnya saat menghubunginya. Dan belum sempat dia kembali dari rasa terkejut—tapi lebih ke malu sebenarnya—dia kembali dikejutkan dengan suara khas pria itu yang kali ini bahkan terdengar jelas, bukan lagi suara di belakang Gia.

“Halo Embun.”

“Mas Arlo?” Mata Embun membulat ketika suara sang penelpon telah berganti.

“Iya ini aku…” ada jeda sesaat. “Gia tadi ngerengek minta ice cream dan jalan sama kamu. Gimana, bisa?”

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang