CHAPTER 8

200 19 0
                                    




Suara ketukan pintu terdengar, mengusik pagi yang nyaman. Karena suasana hujan dan dingin, Arlo masih bergelung dalam selimutnya saat ketukan kini berubah menjadi suara halus seorang wanita.

“Bapak… sarapan sudah siap.”

Arlo masih enggan membuka mata. Baginya pagi ini terlalu nyaman untuk diganggu.

“Bapak, sarapan sudah siap. Non Gia sudah menunggu di bawah Pak.”

Suara wanita itu kembali menginformasikan sesuatu yang kini berhasil membuat Arlo seketika bangun dan terduduk. Apa katanya? Sarapan pagi? Gia udah menunggu? Leher Arlo menoleh cepat ke arah nakas, melihat jam mungil yang bertengger manis di atasnya. 

“Astaga… udah jam enam! kesiangan!

Arlo mengayunkan langkah menuju pintu, memutar handle dan kini terlihatlah seorang wanita muda berseragam pengasuh menganggukkan kepala dengan sopan.

“Maaf, Pak. Itu Non Gia sudah menunggu.” Si wanita muda itu langsung menunduk dengan menyembunyikan wajah merahnya. Arlo yang melihat heran pada gadis itu hanya mengerutkan kening. Mengabaikan ekspresi si pengasuh yang masih menunduk dalam, Arlo kini hanya menghembuskan nafas panjang.


“Kenapa nggak bangunin saya lebih awal?”

Si gadis pengasuh itu langsung mengangkat kepala dan menatap Arlo dengan bingung. Hal yang selanjutnya membuat Arlo mengerti jika pertanyaannya hanya sia-sia.

“Ya sudah, Mbak bisa urus keperluan Gia lagi. Saya akan turun lima belas menit lagi. Makasih udah bangunin saya.” Dia berbalik dan menutup pintu tanpa menunggu respon dari gadis pengasuh itu. Lagi, dia menghembuskan nafas kasar. Akhir-akhir ini pekerjaannya telah membuatnya kehilangan waktu tidurnya. Dia baru saja memejamkan mata menjelang pukul tiga dini hari. Jadi melelahkan sekali rasanya apalagi didukung dengan cuaca hujan yang seolah-olah merayu orang untuk bermalas-malasan dalam selimut.

Jika tidak mengingat ada malaikat kecilnya yang bernama Bahagia Aura Mahajana, mungkin seorang Arlo Cakra Mahajana tidak akan bersusah payah membuka matanya yang kini masih terasa berat.

Arlo memandangi seluruh posturnya pada cermin di depan wastafel. Umpatan seketika lolos saat melihat tubuh atasnya yang topless dan hanya menggunakan boxer sebatas paha. Ya ampun… pantas aja, pengasuh Gia mukanya tadi merah begitu!

Setelah menjalankan ritual mandi dan berpakainnya dalam waktu kurang dari lima belas menit, Arlo bergegas menuruni tangga menuju meja makan dimana gadis kecil berwajah cantik itu telah menunggu dengan rambut kepangnya yang membuatnya sangat menggemaskan.

“Selamat pagi Sayang”, Arlo mencium pipi Gia. “Udah sarapannya?” Lanjutnya sambil kini menggeser kursi di depan Gia lalu duduk dengan tergesa-gesa.

“Selamat pagi Papa. Gia udah makan seleal.”

“Kalau gitu tunggu Papa makan roti sebentar. Habis itu nanti Papa antar ke playgroup.”

Gia hanya mengangguk menanggapi ucapan sang Papa. Setelah kegiatan sarapan mereka selesai, kini Papa dan anak itu bersiap memulai aktivitas pagi masing-masing. Arlo menenteng tas kerja serta beberapa dokumen ditangannya. Di belakangnya, Gia berjalan dengan dituntun sang pengasuh menuju kursi belakang mobil. Carport yang menyatu dengan atap teras, melindungi mereka dari tetesan air hujan yang cukup deras.

Namun sebelum memasuki mobil, Gia menatap pada rumah di seberang jalan sebelum akhirnya duduk manis bersama sang pengasuh di kursi belakang.

“Papa?” Arlo yang baru saja menjalankan mobilnya melewati pagar rumah, kini menatap sang putri dari kaca spion.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang