Marka bersama kedua temannya sedang menempati kafe lain di sebelah tempat Raisa. Kenapa mereka tidak duduk di kafe yang sama? Tentu saja mereka harus berada di tempat berbeda. Marka takut kedua temannya akan kembali berulah dan merusak rencananya jika laki-laki itu nekat menemui Raisa secara langsung.
"Rencana gue bagus, 'kan?" ucap Rehan.
Oke. Ini memang bukan murni rencana Marka, tapi juga campur tangan temannya. Laki-laki itu hanya meneruskan rencana Rehan agar berjalan lebih mulus.
"Ya," jawab Markan singkat.
"Tapi ... kalau dia nolak, gimana, Mar?" tanya Vino.
Setelah meminum kopinya, Marka pun menoleh dengan raut wajah bingung. "Nolak? Maksudnya??" tanya laki-laki itu.
"Y-ya, si Raisa nggak makan kue dari lo," jelas Vino.
"Masa dia sejahat itu, sih?" sambung Marka, tapi kedua temannya merasa kalau Marka terlalu berlebihan.
"Ada kemungkinan lain, Mar. Bukannya dia jahat—b-bisa aja si Raisa nggak suka sama—"
Belum selesai Vino bicara, ketiga laki-laki itu dikejutkan dengan suara dering ponsel. Ponsel milik Marka yang berbunyi. Laki-laki itu pun langsung melihat layarnya dan bersamaan dengan itu raut wajahnya berubah terkejut.
"R-Raisa nelepon gue—Raisa nelepon gue, guys!" kata Marka dengan senyum lebar. Laki-laki itu tidak lagi merasa terkejut, tapi justru sedang merasa senang.
"A-astaga ... bikin malu aja, lo," sahut Rehan sembari melihat sekitar.
"Ya udah, Mar. Buruan diangkatlah," sambung Vino.
"E-eh, bener juga. Malah diliatin aja," kata Marka seraya menjawab panggilan telepon itu.
Masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Marka menempelkan ponsel itu di telinga kirinya. "Halo, Rai. Gimana? Lo—"
"Gue nggak butuh ucapan selamat dari lo."
Jleb. Ucapan Marka terputus saat mendengar balasan Raisa. Laki-laki itu hanya bisa terdiam dan mendengarkan ucapan Raisa yang sepertinya memang hanya memiliki satu tujuan saat menghubunginya.
"Jangan lakuin ini lagi."
"T-tapi, Rai—lo kasih gue kesempatan ngomong dululah," balas Makra, "gue—R-Rai? Raisa?" Marka kembali melihat layar ponselnya. Betapa terkejutnya laki-laki itu saat mendapati kalau ternyata Raisa sudah mengakhiri panggilan telepon mereka.
"Dimatiin sama Raisa, Mar???" tanya Vino.
"Pake nanya, lo," jawab Marka dengan raut wajah kesal.
Marka kemudian bangkit dari kursinya, membuat kedua temannya bingung. Dia berniat untuk menghampiri Raisa di tempatnya. Namun, Rehan langsung menyadari hal itu dan segera menahan Marka.
"M-Mar, jangan—beneran, deh. Jangan sekarang. Lo lagi emosi, masalahnya," kata Rehan seraya menyuruh temannya untuk kembali duduk.
Benar kata Rehan. Marka memang sedang terbawa suasana. Laki-laki itu sangat kesal dengan Raisa. Memangnya sesulit itu menerima sesuatu dari orang lain? Marka juga tidak memberikan sesuatu yang aneh. Setidaknya kalau memang Raisa tidak suka, apa perlu berkata seperti itu?
"Tarik napas, buang, tarik, buang ... lo tenang dulu, sih," sambung Vino.
Marka mengikuti saran Vino. Setelah menarik dan membuang napasnya, laki-laki itu mulai merasa lebih tenang. Namun, tiba-tiba Marka memukul meja, membuat kedua temannya terkejut.
"Kenapa dia harus ngomong kayak gitu, sih??" tanya Marka lagi.
Vino dan Rehan hanya bisa saling melihat. Keduanya hanya bisa sama-sama mengembuskan napas berat. Mereka tahu kalau Marka akan terus merasa kesal seharian ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Raisa untuk Cinta
ChickLitDari Raisa untuk Cinta Cinta, apakah aku pernah merasakah kehadiranmu? Aku hampir lupa bagaimana wujud dan perasaan saat kamu ada. Jika cinta tidak bisa memberi jawaban atas pertanyaanku. Kuharap nantinya akan hadir seseorang di hidupku yang bisa me...